Mahkamah Konstitusi tengah menguji perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Dedek Prayudi, dkk., terkait Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan tujuan untuk menurunkan ambang batas usia capres-cawapres, dengan dalih moralitas dan rasionalitas serta diskriminasi. Permohonan ini tentu menimbulkan banyak pertanyaan, karena PSI tidak dapat mengajukan capres-cawapres, dan kader PSI tidak ada satupun yang dapat menjadi capres atau cawapres.
Mengkooptasi Mahkamah Konstitusi: Mesin Rekayasa Legislasi Presiden Jokowi
Menebak nasib perkara di MK belakangan ini hanya berujung pada 2 (dua) kesimpulan, tanpa perlu menggali dari informan. Jika terkait hak asasi maka berdalih Open Legal Policy, kemudian jika terkait kepentingan politik maka sarat akan kejanggalan. Sebut saja, proses pelemahan KPK dan transformasi KPK menjadi alat politik Presiden Jokowi, melalui Putusan MK yang menempatkan KPK sebagai Lembaga eksekutif di bawah kekuasaan Presiden (Permohonan 79/PUU-XVII/2019, 70/PUU-XVII/2019, 59/PUU-XVII/2019, 62/PUU-XVII/ 2019, 71/PUU-XVII/2019, 73/PUU-XVII/2019, dan 77/PUU-XVII/2019). Kemudian dilanjutkan dengan perubahan syarat usia minimal Komisioner KPK dari 50 tahun ke 40 tahun, (Pasal 29 Huruf e UU No. 19 tahun 2019 tentang KPK), berbasis pertimbangan soal frasa “atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK” yang tidak pernah ada pada seleksi pimpinan lembaga negara dan tidak ada juga di dalam Konstitusi, UUD 1945 maupun UU KPK.
Mahkamah Konstitusi jelas telah dikooptasi oleh Presiden Jokowi. Menegaskan kesimpulan ini juga tidak dapat dilepaskan dari kedekatan personal Presiden Jokowi dengan Ketua Mahkamah Konstitusi yang merupakan adik iparnya sendiri meski melanggar Pasal 17 ayat (4) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; dan Penerapan Prinsip Ketidakberpihakan dalam Peraturan MK Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Ditambah sebelumnya, Hakim MK diberikan penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana oleh Presiden Jokowi.
Masalah Laten Hak Politik: Diskriminasi Hak Asasi Rakyat, bukan Perlakuan Khusus Anak Presiden Jokowi
Bicara soal diskriminasi atas hak politik warga negara sejatinya bicara soal peng-kebirian hak dipilih melalui threshold, baik parliamentary maupun presidential threshold, yang juga menggunakan tangan kotor Mahkamah Konstitusi. Pengujian tersebut berujung pada kesimpulan bahwa ambang batas suara sebagai syarat pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah konstitusional. Dampaknya, tidak ada seorang warga negara pun yang punya hak dipilih untuk dapat mencalonkan diri di Pemilu sebagai wakil rakyat (DPR) atau Presiden tanpa melalui Partai Politik. Tidak hanya itu, justru memaksa Partai Politik untuk ber-kongkalikong suara hingga transaksi money politic yang menyandera Presiden dengan proyek sebagai “balas jasa” politik.
Gugatan ambang batas usia yang diajukan PSI ke MK tidak dapat dilepaskan pada 2 fakta: pertama, PSI adalah partai komprador Presiden Jokowi, kedua, posisi pencalonan Gibran Rakabuming sebagai Cawapres, yang tidak lain adalah Putra Kandung Presiden Jokowi. Fakta ini membawa presumsi bahwa permintaan penurunan batas usia capres-cawapres pada Gugatan PSI, adalah untuk memuluskan jalan Gibran yang digadang-gadang menjadi Cawapres Prabowo Subianto (Menteri Pertahanan) bermodal propaganda melalui survei yang melampaui Cawapres yang ada (Erick Thohir, Muhaimin Iskandar, bahkan Airlangga Hartarto) dan jabatan incumbent sebagai Walikota Solo. Tidak terlihat adanya persoalan diskriminasi hak politik dalam Gugatan PSI, yang jelas justru perlakuan khusus melalui rekayasa legislasi.
Khawatir Akan Bait Akhir: Putusan Hakim Harus Patuh Konstitusi, Bukan Kepentingan Presiden Jokowi
Agaknya, mustahil berharap MK tidak dimaknai sebagai Mahkamah Keluarga ketika perkara yang isinya berelasi kuat dengan Anak Kandung Presiden Jokowi (Gibran), diajukan oleh komprador Presiden Jokowi, kepada lembaga dengan salah satu Hakimnya adalah Adik Ipar Presiden Jokowi. Nyaris tidak mungkin tidak ada cawe-cawe. It’s all about, and it’s on Presiden Jokowi. Wajar jika publik khawatir akan bait akhir putusan MK akan mutlak dikabulkan sepenuhnya, seperti didikte.
Mengingat, pen-dikte-an MK juga terlihat jelas dari preseden buruk Gugatan Nurul Ghufron yang sangat mirip dengan ambang batas usia capres-cawapres yang diajukan oleh PSI. Yakni, terkait batas usia Komisioner KPK: Usia diturunkan, lalu dibei embel-embel “berpengalaman sebagai pimpinan Lembaga”. Jangan sampai pen-dikte-an Putusan MK seperti copy-paste Putusan Nurul Ghufron untuk PSI, yakni “Ambang batas usia capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun dengan syarat berpengalaman sebagai pimpinan pemerintahan (baca: kepala daerah)”. Hakim Konstitusi perlu ingat, bahwa masa jabatan sebagai Hakim terbatas, dan nasibnya pun berubah-ubah tergantung rejim. Seperti 2 (dua) Hakim Konstitusi yang dicokok KPK sampai masuk penjara. Tidak ada jaminan “kebebasan dan keselamatan” Hakim Konstitusi pasca selesai masa jabatan.
Oleh sebab itu, Hakim Konstitusi harus menjaga nama-nama baik yang melekat sejak berdirinya MK, yakni, Penjaga Konstitusi (the guardian of the constitution), pelindung demokrasi (the protector of democracy), pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights), penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional rights), pengawal ideologi negara (the guardian of state ideology). Semua nama-nama baik ini akan terwujudkan jika MK tetap berpegang pada konstitusi dan menegaskan ambang batas usia capres-cawapres bukanlah diskriminasi melainkan kualifikasi, dan menolak despotisme kekuasaan eksekutif yang bahkan melebihi rejim otoritarian Orde Baru yang hanya menempatkan Legislatif di bawah kekuasaan politik praktisnya, bukan Yudikatif apalagi Mahkamah Konstitusi.
Jakarta, 19 Agustus 2023
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
Julius Ibrani (Ketua)
Andi Nur Ilman (Peneliti)