RILIS PERS
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
Disparitas Putusan: Pertanda Rekayasa, Petaka Ketidakadilan
(Eksaminasi Publik terhadap Putusan Agus Utoyo, Tengku Hedi Safinah dan Alex Denni)
PBHI sesuai mandat kelembagaan untuk mendorong reformasi sistem peradilan sejak 2006 sekaligus menggagas Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Peradilan, berinisiatif untuk melakukan kajian lebih mendalam, sebagai bagian dari kerja-kerja Advokasi dan Pendampingan Hukum pada kasus berbasis pelanggaran hak asasi manusia spesifik pada peradilan fiktif yang tidak adil (unfair trial), termasuk membuka Posko Pengaduan Korban Mafia Peradilan untuk masyarakat luas yang menjadi korban, di antaranya disparitas putusan yang janggal dan bernuansa praktik mafia peradilan sehingga perlu untuk dikaji secara ilmiah dan dilakukan langkah advokasi publik demi perbaikan sistem dan struktur peradilan di Mahkamah Agung serta Pendidikan/edukasi hukum di masyarakat, dengan menyoroti maraknya berbagai macam pemberitaan media massa elektronik terhadap kejanggalan-kejanggalan putusan pengadilan.
KARUT MARUT PERKARA DI MA: DARI LEVEL ADMINISTRASI HINGGA SUBSTANSI
Pemberitaan tentang eks-Deputi di KemenPAN-RB, Alex Denni, yang dieksekusi atas Putusan Kasasi tahun 2013 oleh Mahkamah Agung RI (MA) dengan Nomor Perkara 163 K/Pid.Sus/2013 atas kasus yang diperiksa Pengadilan Negeri (PN) Bandung pada tahun 2006, sempat ramai pada awal bulan Juli 2024 dan menimbulkan pertanyaan termasuk jeda 11 tahun. Tak lama berselang muncul lagi pemberitaan yang sangat menghebohkan dan menjadi perhatian publik yakni OTT atas 3 Hakim dari PN Surabaya yang merekayasa Putusan Ronald Tannur, yang berujung pada OTT “ikan besar” yakni eks-petinggi MA yang menyimpan uang hampir Rp 1 Triliun rupiah dan 51Kg emas di rumahnya, yang diduga kuat sebagai biaya “pengurusan perkara”. Padahal, Hakim Agung Gazalba Saleh, belum lama diputus bersalah atas kasus Korupsi.
Tidak kalah hebohnya dengan beberapa pemberitaan tersebut di atas, perkara Agus Utoyo, Tengku Hedi Safinah dan Alex Denni, ternyata ditemukan banyak kejanggalan. Perkara Alex Denni tidak dapat dipisahkan dengan Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah yang didakwa pada peristiwa atau perbuatan yang sama dengan penyertaan (Pasal 55 KUHP) namun menimbulkan putusan yang berbeda dan bertentangan (disparitas), ternyata ditemukan banyak kejanggalan, baik di level administrasi pengadilan, hukum acara dan pemeriksaan perkara, hingga substansi putusan. Perbedaan komposisi majelis hakim dan jangka waktu pemeriksaan pada tingkat Banding dan Kasasi (terpaut 5 tahun: 2008 – 2013).
Selain itu, ternyata, tidak satu pun putusan di Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri), Banding, dan Kasasi yang diunggah di situs Mahkamah Agung atau Pengadilan Negeri (SIPP) kecuali Putusan Kasasi Alex Denni yang dieksekusi, artinya, ada 8 dari 9 Putusan (dari 3 Terdakwa) yang sengaja disembunyikan.
Secara substantif, terlihat juga kejanggalan bahwa fakta persidangan menyatakan tidak ditemukan kesalahan sehingga dua Terdakwa, Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah dinyatakan bebas, namun anehnya, dengan alat bukti yang sama, Alex Denni dinyatakan bersalah. Padahal, disparitas putusan ini jadi bukti adanya pelanggaran pada penerapan hukum atas Pasal 55 (Penyertaan) yang juga terdapat di kebijakan internal MA.
Atas kejanggalan-kejanggalan tersebut, PBHI berinisiatif untuk mengkaji dan membongkar berbagai kejanggalan-kejanggalan tersebut dalam proses eksaminasi terhadap ketiga Putusan tersebut dengan melibatkan 3 (tiga) (Eksaminator) yang merupakan Ahli Hukum Pidana yaitu Dr. Rocky Marbun SH., MH, Dr. Vidya Prahassacitta, SH. MH dan Dr. Ahmad Sofian, S.H., M.A. Hasil eksaminasi tersebut menyatakan bahwa tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang, yang dituduhkan terhadap proses pengadaan pekerjaan telah dinyatakan tidak terbukti pada pemeriksaan perkara Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah di tingkat banding dan kasasi maka sudah sepatutnya hal tersebut menggugurkan unsur melawan hukum terhadap Alex Denni karena pengadaan telah dinyatakan sah secara hukum dan pekerjaan yang dilaksanakan oleh Alex Denni terbukti telah selesai dengan baik.
PROYEK BERJALAN, TANPA KESALAHAN, DIPAKAI PERUSAHAAN NEGARA DENGAN LANCAR
Menelisik lebih lanjut, objek perkara berupa proyek Distinct Job Manual (DJM) berdasarkan fakta persidangan justru nyata-nyata tidak terdapat penyalahgunaan kewenangan dan pengadaannya sah serta tidak terbukti adanya perbuatan-perbuatan yang menguntungkan orang lain (dalam hal ini Alex Denni). Di sini letak kesalahan besar penerapan hukum oleh Majelis Hakim Tingkat Kasasi pada Mahkamah Agung sebagai muara terakhir para pencari keadilan seperti Alex Denni.
Begitupun mengenai dakwaan tindak pidana penyertaan atau secara bersama-sama melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jelas dan terang unsur ini tidak terbukti oleh karena proses pengadaan yang berjalan telah sesuai dengan prosedur yang sah dan dalam pelaksanaan pekerjaan analisis jabatan dan program pemberdayaan SDM oleh PT Parardhya Mitra Karti (PT PMK) dilakukan tanpa ada rekayasa atau manipulasi yang mana dibuktikan dengan adanya laporan atau audit internal PT. Telkom yang menyatakan pelaksanaan pekerjaan telah sesuai dengan ketentuan dan berjalan lancar.
Kasus ini bermula pada 2003, di mana PT Telkom, Tbk menunjuk PT Parardhya Mitra Karti (PT PMK), yang dipimpin oleh Alex Denni, untuk melakukan pekerjaan analisis jabatan dalam rangka pemberdayaan dan pengelolaan SDM. Proses pengadaan dan negosiasi dilakukan oleh Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah selaku perwakilan PT Telkom, dan nilai pekerjaan yang disepakati mencapai Rp 5.779.818.000,-. Pekerjaan yang dilaksanakan oleh Alex Denni selaku Direktur PT PMK telah selesai pada Juni 2004.
Terhadap proyek tersebut, dilakukan pemeriksaan pada 2006 oleh Kejaksaan Negeri Bandung atas dugaan penyalahgunaan wewenang dan manipulasi pelaksanaan pekerjaan. Pada 2007, ketiganya, Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah serta Alex Denni dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Bandung atas Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999. Namun, kejanggalan dimulai ketika pemeriksaan perkara dilakukan secara terpisah pada tingkat Banding, di mana Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari segala tuntutan dengan dasar bahwa proses pengadaan berjalan secara sah tanpa penyalahgunaan kewenangan, hingga tingkat Kasasi. Tetapi, Alex Denni diputuskan berbeda, bersalah hingga di Kasasi.
PAKAR PIDANA/EKSAMINATOR: DISPARITAS PUTUSAN ADALAH PINTU MASUK REKAYASA DAN KETIDAKADILAN
Para eksaminator pun menyoroti kejanggalan putusan sebagai rangkaian pertentangan suatu putusan dan adanya kekhilafan atau kekeliruan hakim yang nyata, Dr. Vidya pada tulisannya menjelaskan bahwa, “Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 240/PID/2007/PT.BDG & No. 241/PID/2007/PT.BDG membebaskan Terdakwa Agus Utoyo dan Terdakwa Ir. Tengku Hedi Safinah dari segala dakwaan. Akan tetapi Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 166/Pid/2008/PT.BDG janggal karena menyatakan Terdakwa Ir. Alex Denni, MM bersalah dan menguatkan putusan tingkat pertama”. Hal tersebut pun juga disorot oleh Ahli Hukum Pidana Dr. Ahmad Sofian. Dalam pendapatnya, Dr. Ahmad menyatakan bahwa, “Bangunan fakta yang disimpulkan oleh hakim terkesan dipaksakan dan tidak ada konsistensi dalam menarik fakta dari ruang persidangan. Fakta-fakta yang dinilai hakim benar ternyata tidak dirangkai secara teratur dan hanya didukung dengan alat bukti yang minimalis sehingga kebenaran peristiwa tersebut sebagai tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara menjadi diragukan. Peristiwa yang dirangkai hakim sebagai tindak pidana adalah peristiwa-peristiwa yang sejak awal bukan tindak pidana.”
Berikut hasil eksaminasi dan kesimpulan dari kajian ketiga Pakar Pidana yang dirangkum PBHI:
- Disparitas Putusan pada Ketiga Terdakwa: Dalam keseluruhan proses hukum yang terjadi sejak Tahun 2005 kepada ketiga tersangka, berkas tuntutan tidak pernah sebagai satu kesatuan perkara, sehingga terjadi disparitas tuntutan dan putusan kepada ketiga tersangka. Hal ini pula yang menjadi akar perbedaan putusan kepada Alex Denni selaku “pihak swasta” yang didakwa penyertaan/membantu tindak pidana korupsi kepada dua tersangka lainnya yang bebas murni.
- Inkonsistensi Penerapan Hukum: Eksaminasi mengidentifikasi bahwa Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 semestinya hanya berlaku pada pejabat publik atau pegawai negeri yang memiliki kewenangan publik. Dalam kasus ini, Alex Denni selaku pihak swasta seharusnya tidak terkena dakwaan yang sama.
- Pengguguran Unsur Penyalahgunaan Wewenang: Dalam putusan terhadap Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah, unsur penyalahgunaan wewenang tidak terbukti. Karena kasus ini melibatkan objek yang sama, maka seharusnya Alex Denni juga dinyatakan tidak bersalah.
- Delik Tindak Pidana Penyertaan: Ketiga terdakwa didakwa secara bersama-sama, sehingga ketidakbersalahan dua terdakwa (Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah) pada proses pengadaan seharusnya menggugurkan dakwaan terhadap Alex Denni.
- Ketidaksesuaian Nilai Keuangan Negara yang Dirugikan: Nilai pekerjaan yang disepakati dalam proyek ini melalui proses pengadaan yang sah, sehingga tidak memenuhi unsur yang merugikan keuangan negara.
“Norm addressaat atau subjek hukum yang menjadi sasaran dari Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 adalah pegawai negeri atau pejabat yang memiliki kewenangan tertentu yang di salah pergunakan. Terdakwa Ir. Alex Deni, MM bukan merupakan seorang pegawai negeri atau pejabat publik yang memiliki kewenangan yang disalahgunakan. Oleh karenanya kedudukan Terdakwa Ir. Alex Deni, MM tidak memenuhi kualifikasi delik dalam Pasal 3 UU No. 31/1999 tersebut. Artinya tidak mungkin Terdakwa Ir. Alex Deni, MM melakukan perbuatan penyalahgunaan wewenang seorang diri tanpa adanya peran dari Terdakwa Agus Utoyo dan Terdakwa Ir. Tengku Hedi Safinah sebagai pihak yang menyimpangi kewenangan yang dimiliki.“ Pendapat hukum Dr. Vidya ini sebagaimana dituangkan dalam hasil eksaminasi ini.
Kajian dan pernyataan Dr. Vidya pun didukung oleh kajian dari Dr. Rocky Marbun di mana menurutnya penetapan keputusan bersalah kepada tersangka Alex Denni dianggap buah dari kekhilafan hakim. Hal ini merujuk pada penetapan keputusan kepada Alex Denni yang berbeda dengan kedua tersangka lainnya, padahal kasus yang melibatkan ketiga tersangka merupakan projek kerja yang sama. “Menurut Saya, suatu kesepakatan membutuhkan dua pihak saling memberikan janji berdasarkan itikad baik. Sehingga, menjadi suatu pertanyaan besar adalah “Mengapa hanya Ir. Alex Denni, MM., yang terkena Pasal 64 KUHP?” Nalar sesat dari judex facti nampak terlihat sangat dipaksakan sebagai suatu logika dan penalaran hukum. Namun demikian, hal yang menjadi suatu kebenaran mutlak, sampai saat ini, adalah “PERJANJIAN PENGADAAN JASA KONSULTASI ANALISA JABATAN” masih sah dan mengikat secara hukum.”
Dr. Rocky pun mengkaji tidak hanya disparitas putusan namun juga linimasa penetapan hukum yang diterima, di mana pada tanggal yang tertulis di Pemberitahuan Putusan Banding Dalam Putusan Kasasi terdapat gap tahun yang cukup berbeda. “Terdakwa Ir. Alex Denni, MM., selama 4 (empat) tahun tidak mendapatkan kepastian hukum dan keadilan.” Dr. Rocky menyatakan. Eksaminasi ini mengungkapkan disparitas putusan penerapan hukum dalam kasus Alex Denni dibandingkan dengan dua terdakwa lainnya. Inkonsistensi ini diduga menggambarkan rekayasa kasus atau kriminalisasi terhadap Alex Denni, menciptakan ketidakadilan dan pelanggaran prinsip peradilan yang adil.
Dr. Vidya dari hasil eksaminasi yang telah ia lakukan menjelaskan Pasal 3 UU Tipikor salah satu unsurnya adalah penyalahgunaan wewenang, kalau bicara penyalahgunaan wewenang maka tertuju pada pihak yang memiliki wewenang, dalam konstruksi kasus Disparitas Putusan ini yang memiliki wewenang adalah BUMN. Unsur melawan hukum melekat pada penyalahgunaan wewenang. Intinya ketika perbuatannya tidak memiliki sifat melawan hukum maka tidak bisa dipidana, tegas Dr. Vidya.
Bahwa dalam perkara ini Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah dari PT. Telkom, Tbk dinyatakan tidak bersalah dan bebas dengan demikian kedua orang tersebut tidak memiliki sifat melawan hukum dan melakukan sesuai wewenang, maka secara keseluruhan dalam kerangka Pasal 55 KUHP, perbuatan Alex Denni juga tidak terdapat unsur melawan hukum, pungkas Dr. Vidya.
Dr. Vidya juga menguraikan berdasarkan putusan-putusan yang telah dieksaminasi, ditemukan juga kejanggalan juga tidak pernah dipertimbangkan atau bahkan diuji apakah Alex Denni pernah menyalahgunakan uang untuk kepentingan yang lain. Proyek juga selesai dan tidak ada laporan apapun kalau proyeknya tidak berjalan. Hal ini bisa menjadi batu uji analisis.
Dr. Ahmad Sofian salah satu Eksaminator yang merupakan dosen hukum pidana di Universitas Binus mengungkapkan pertimbangan hukum hakim tidak sejalan dengan bukti-bukti yang diajukan di persidangan. Dapat disimpulkan, Pertama, rangkaian perbuatan adalah rangkaian perbuatan yang tidak teratur, Kedua, inkonsistensi dalam membuat pertimbangan hukum, dan Ketiga, bangunan rangkaian perbuatan yang dilakukan Alex Denni adalah rangkaian perbuatan yang tidak didukung oleh alur yang tepat sehingga hanya didasarkan pada asumsi belaka, asumsi belaka merupakan sesuatu yang berbahaya karena berujung pada ketidakadilan, tegas Dr. Ahmad Sofian.
Dr. Rocky Marbun salah satu pengajar hukum pidana di Fakultas Hukum Universitas Pancasila menduga perkara ini banyak kepentingan yang disembunyikan. Bahasa digunakan untuk menyembunyikan kepentingan tersebut. Lebih lanjut, Dr. Rocky Marbun menyoroti dakwaan terhadap Alex Denni, dalam dakwaannya terdapat ketentuan tambahan yakni Pasal 64 ayat (1) KUHP. Konstruksi pertimbangan hukum terkait Pasal 64 KUHP terhadap Putusan Alex Denni yang dalam pertimbangan hukumnya berupa Alex Denni menerima pembayaran secara termin berdasarkan apa yang disepakati dengan dua terdakwa lain (Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah), padahal menerima termin pembayaran adalah konsekuensi dari kesepakatan bisnis, ungkap Dr. Rocky Marbun.
Dr. Rocky Marbun mencoba menelisik lebih jauh mengenai susunan Majelis Hakim Agung dalam perkara kasasi ketiga orang terdakwa Agus Utoyo, Tengku Hedi Safinah dan Aelx Denni. Dari hasil penelusuran Dr. Rocky Marbun, menemukan fakta Majelis hakim yang memeriksa perkara Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah di tingkat kasasi pensiun di tahun 2012. Sedangkan terdakwa Alex Denni menerima pemberitahuan putusan tingkat Banding di tahun 2010 dan kemudian, diajukan upaya hukum Kasasi di tahun 2010 juga pasti diperiksa dengan Majelis Hakim Kasasi yang sama dengan yang memeriksa perkara Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah. “Artinya ada kepentingan yang ingin dicapai, jangan sampai perkara Alex Denni diperiksa majelis hakim kasasi yang sama yang memeriksa perkara Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah, karena kalau diperiksa hakim yang sama maka bisa bebas, karena tidak mungkin majelis hakim yang sama tapi putusannya berbeda”, analisis Dr. Rocky Marbun.
Dr. Rocky Marbun menambahkan analisanya mengenai Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP, dalam perkara Agus Utoyo dan Tengku Hedi maka diterapkan maka sama-sama bebas. Oleh karena majelis hakim yang memeriksa Alex Denni berbeda maka putusannya berbeda.
EKSAMINASI PUTUSAN ADALAH PIJAKAN REFORMASI MAHKAMAH AGUNG & PENGADILAN
Uraian-uraian kejanggalan tersebut membuka khasanah pemikiran kita semua pada akhirnya, bahwa disparitas di dalam putusan itu dapat menjadi “gerbang” untuk “memenjarakan” bagi siapapun para pencari keadilan dan menjauhkan kita dari keadilan itu sendiri. Mengutip pepatah hukum lex iniusta non est lex yang artinya “Hukum yang tidak adil, bukanlah hukum sama sekali.”
Perlu menjadi catatan dan diperhatikan, bahwa Alex Denni merupakan Konsultan bidang Sumber Daya Manusia yang berkontribusi positif terhadap peningkatan kualitas SDM di lingkungan BUMN salah satunya di PT Telkom, Tbk. Alex Denni selalu memberikan karya terbaiknya selama berkiprah di dunia professional seperti saat berkerja di Jasa Marga, BNI, Bank Mandiri, Kementerian BUMN dan KemenPAN RB, dimana Alex Denni adalah seorang aktor penting dalam pergantian UU ASN yang sangat transformatif, mempersiapkan ASN menuju birokrasi yang lebih professional.
Namun sangat disayangkan, kontribusi positifnya berbalas upaya rekayasa kasus terhadap dirinya, Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah yang berujung pada ketidakadilan yang dialaminya.
Harapannya, eksaminasi disparitas putusan hukum ini akan menjadi kajian ilmiah sebagai pertimbangan penetapan hukum serupa kedepannya. Rekayasa kasus dan kriminalisasi kepada pihak yang tidak tepat merupakan persoalan serius dan harus segera diperbaiki. Seluruh stakeholder diharapkan berbenah dan lebih menerapkan asas kemanusiaan agar masyarakat bisa merasa aman, yakin dan percaya kepada penegakan hukum di Indonesia.
Julius Ibrani, Ketua PBHI, menegaskan bahwa, “Mahkamah Agung harus menyusun kebijakan spesifik yang berlaku untuk seluruh Hakim di setiap tingkat pengadilan, dalam menjaga konsistensi putusan dan penerapan hukum yang sama. Kebijakan yang memastikan bahwa setiap peristiwa hukum yang sama, dengan alat bukti yang sama, wajib diperiksa oleh Majelis Hakim yang sama dalam tempo linimasa yang sama meski terjadi pemisahan perkara (splitsing). Untuk menghindari disparitas putusan yang menjadi indikator pertama rekayasa perkara dan ketidakadilan bagi masyarakat luas.”
Jakarta, 31 Oktober 2024
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
Julius Ibrani – Ketua Badan Pengurus Nasional
Gina Sabrina – Sekjen