Dengan dalih penghematan APBN, pemerintah rela menjadikan rakyatnya sebagai korban. Betapa tidak, sebelum kebijakan menaikan BBM, harga-harga kebutuhan pokok sudah naik duluan.Sebagai pelipur lara mengatasi dampak kenaikan BBM bagi masyarakat miskin, 15, 5 juta rumah tangga dibagikan BLSM oleh pemerintah dengan alokasi Rp6,32 triliun dengan besaran bantuan Rp150 ribu perbulan. Pembagiannya dikucurkan tiap dua bulan melalui kantor pos.
Membeludaknya masyarakat miskin membuat pencairannya menjadi lama. Bagi masyarakat miskin demi mendapatkan belanja bulanan. mereka siap menunggu antrian berjam-jam. Lansia dan ibu-ibu mengendong anaknya ikut dalam antrian asal uang bantuan tunai sebagai kompensasi kenaikan BBM. Sistem pencairan BLSM tersebut menyulitkan masyarakat. Warga mengantri dari pagi hingga sore harinya juga belum mendapatkan bagian. Karna pada satu kecamatan dikumpul disatu kantor pos yang relatif kecil dan memiliki satu pintu masuk dan keluar. Pembagian dana BLSM diwarnai berbagai persoalan, pelaksanaan program belum sepenuhnya berjalan mulus dan tidak tepat sasaran. Mereka yang seharusnya menerima, justru tak dapat bagian. Sebaliknya mereka yang berkecukupan lebih secara ekonomi malah ikutan mendapatkan dana kompensasi.
Terlihat pemerintah terlalu berburu-buru menjalankan BLSM. Basis data yang digunakan berdasarkan data lama. Ini terlihat ketika Restuardy Daud juru bicara Kementrian Dalam Negri menyampaikan, sekitar 2.000 kartu perlindungan sosial dikembalikan karena ada kesalahan alamat, perpindahan domisili, penulisan nama, dan penerima sudah meninggal atau bahkan tidak terkategori masyarakat miskin. Kita harus mempertanyakan, sebenarnya ada apa di balik kebijakan ini? Benarkah kebijakan BLSM benar-benar meningkatkan kesejahteraan rakyat sesuai aspirasi rakyat? Ataukah kebijakan lahir dengan aspirasi para politisi partai pengusungnya yang sebenarnya tidak sama sekali peduli atas nasib rakyat dan mengedepankan demi kepentingan elite, pemilik modal dan kapitalis asing. Dengan BLSM tindak menjamin terhadap kelangsungan perbaikan ekonomi masyarakat. BLSM tidak mendidik, membodohkan rakyat dan masyarakat tidak menjadi produktif.
Kebanyakan tidak menyadari, pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan rakyat merupakan kewajiban negara. BLSM adalah hak masyarakat, bukan kebaikan hati sogokan politik. Pemerintah harus memikir ulang kembali terkait dengan penyaluran dana BLSM dengan menggunakan data yang akurat. Karna Kesejahteraan merata dijamin oleh negara sebagaimana dalam Pasal 34 UUD 1945 menyebutkan, “Fakir Miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.” Maksudnya, orang-orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencarian dan tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi manusia. Kesejahteraan rakyat dapat dipelihara agar tidak jatuh ke dalam jurang kemiskinan. Masyarakat tidak dapat disalahkan atas kemiskinan yang dideritanya. Perhatian negara sebenarnya itu adalah haknya dalam meningkatkan kesejahteraan. Negara berkewajiban dan memiliki kapasitas untuk menciptakan mekanisme yang kondusif bagi kesejateraan rakyat.
Program BLSM seharusnya dijadikan sebagai program sosial yang bersifat mendidik perekonomian rakyat agar mereka dapat meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya, bukan program tidak mandiri dan kurang tepat karena secara tidak langsung mengajak rakyat menyerah dengan keadaan yang ada. Setuju ketika masyarakat di bantu, tetapi tentu sebaiknya memberikan dana secara tunai yang sangat tidak merubah status sosialnya. Masyarakat miskin tetap menjadi peminta, tidak ada nilai edukasi yang diberikan pemerintah kepada masyarakat, pada akhirnya tetap menjadikan masyarakat lebih susah untuk memenuhi
Kebutuhan hidupnya. Disamping itu, pemerintah belajar dari kegagalan program BLT yang pernah dikucurkan beberapa tahun yang lalu. Karena banyak pihak menilai bahwa sistem bantuan langsung sangat tidak efektif dan tidak mendidik dalam memecahkan masalah kemiskinanan. BLSM dengan sistem sama, apakah akan mendulang kembali hasil yang sama? BLSM bukan sebagai permen pemanis sementara, tetapi pemerintah memikirkan pengentasan kemiskinan demi terlaksananya kesejahteraan rakyat dengan cara pendirian berbagai unit kegiatan masyarakat (UKM) sebagai wujud menciptakan lapangan pekerjaan dan pendidikan, yang justru lebih penting dibanding memberikan dana tunai.
Erik Sepria (Badan Pengurus Sumatera Barat)
Sebagaimana pernah dimuat di Harian Umum Independen Singgalang (10 Juli 2013)