Dua panser tentara, dengan senjata mesin kaliber 50 tampak berjalan di sekitar lokasi KRP di Abepura. Sejumlah tentara dan pasukan strategis Brimob dengan senjata penuh/lengkap memamerkan kekuatannya.
Aksi pasukan polisi dan tentara seperti itu tak hanya bersifat unjuk kekuatan, tapi lebih dari itu dapat diduga bertujuan untuk menakut-nakuti warga yang menghadari Kongres secara damai. Aksi ini dapat dipandang sebagai bentuk gangguan yang dilakukan polisi dan tentara terhadap warga. Apalagi dengan memamerkan panser dan sejumlah senjata berat. Seakan-akan hendak mengesankan konflik bersenjata antara rakyat Papua dengan TNI dan Polri akan berlangsung, serta semakin jauh dari harapan Papua Tanah Damai.
Upacara penutupan KRP III, sore ini, berlangsung dengan damai, peserta KRP keluar dari lokasi Kongres. Sangat disayangkan, aparat bersenjata lengkap yang sebelumnya hanya terkesan menakut nakuti, telah melakukan tindakan berlebihan tanpa mempertimbangkan keselamatan dan keamanan seseorang. Tercatat, dua orang tertembak, dan satu orang ditangkap (Forkorus Yaboisembut). Tugas utama aparat penegak hukum adalah melindungi nyawa manusia, bukan melakukan tindakan yang sebaliknya. Penembakan dan penangkapan atas peserta KRP adalah wujud kesewenang wenangan aparat.
Dengan mempertimbangkan beberapa kejadian itu, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) meminta:
Pertama, mengecam dan menyampaikan penyesalan yang mendalam atas jatuhnya korban penembakan, akibat tindakan dari aparat keamanan di luar batas kemanusiaan. Pertanggungjawban hukum atas peristiwa tersebut, harus segera dimintakan kepada penanggungjawab keamanan wilayah Papua secara menyeluruh, tuntas dan terbuka.
Kedua, Konggres Rakyat Papua harus dipahami sebagai bentuk sumbangsih kolektif rakyat Papua, di dalam merumuskan langkah-langkah Sosial, cultural, beserta ekonomi & politiknya sesuai dengan aspirasi dan tanggung jawab sebagai bagian dari warga bangsa. Memandang dan memposisikan Konggres Rakyat Papua sebagai ancaman stabilitas adalah kekeliruan dan menyesatkan.
Ketiga, Pendekatan keamanan dan pamer kekuatan bersenjata baik dari institusi TNI maupun Polri di Papua bukanlah cara-cara yang direkomendasikan oleh pemahaman kita atas Negara demokrasi maupun berbagai konvensi tentang HAM.
Keempat, Oleh karena itu sudah saatnya Institusi TNI dan Polri merumuskan ulang langkah dan pendekatan baru dalam menghadapi persoalan Rakyat Papua . Cara-cara yang cenderung menggunakan dan mengedepankan tindakan kekerasan, hanya akan memperburuk citra TNI dan Polri, serta hanya akan melahirkan masalah baru yang tak menyelesaikan akar masalah di Papua.
Kelima, Persoalan Rakyat Papua tidak bisa dipandang sebagai persoalan hari ini saja dan terpisah dari rangkaian kekerasan yang terjadi sebelumnya. Tanpa penyelesaian yang bersifat “Rekonstruktif” dan berpihak pada penderitaan Rakyat Papua sebagai korban, hanya akan membuka ingatan kolektif Rakyat Papua yang terlanjur lekat dengan ketidak adilan, pelanggaran HAM dan ancaman kekuatan bersenjata.
Jakarta, 19 Oktober 2011
Badan Pengurus Nasional
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia – PBHI
Angger Jati Wijaya
Ketua