dan menerbitkan rangkaian peraturan perundangan yang memuat hak anak dan perlindungannya : UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak manusia, UU no. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan hak anak, UU no. 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak, UU no. 1 Tahun 2000 tentang pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk bentuk pekerjaan terburuk bagi anak.
Seratus orang anak yang dipekerjakan sebagai awak kapal, dalam praktik perdagangan manusia menunjukkan bahwa negara telah abai dalam melindungi anak. Anak berhak atas lingkungan yang tepat bagi perkembangan kepribadiannya yang penuh dan serasi, Anak berhak untuk tumbuh di lingkungan keluarga yang berada dalam suasana kebahagiaan, cinta dan pengertian (konvensi hak anak : disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa tanggal 20 November 1989). Kapal, bukanlah tempat yang baik dan menjamin pertumbuhan anak.
Dalam peristiwa yang memaksa seorang anak harus berhadapan dengan hukum, pemerintah segala bangsa harus memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Pemenjaraan bersama dengan orang dewasa, adalah tindakan yang mengabaikan kepentingan anak. Menyangkut pendidikan dan lingkungan tumbuh kembang. Anak adalah subyek hukum yang tidak dalam kapasitas mental yang cukup untuk mempertanggungjawabkan.
Meski demikian Perhimpunan Bantuan Hukum mengapresiasi langkah langkah serius yang ditempuh oleh Pemerintah Australia dengan mengusahakan pendampingan dari orang tua anak yang ditahan.
Namun dengan mempertimbangkan peristiwa dan kepentingan terbaik bagi anak, PERHIMPUNAN BANTUAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA INDONESIA (PBHI- NASIONAL) perlu menyampaikan beberapa hal:
Pertama, meminta kementrian Hukum dan HAM, untuk segera memaksimalkan mekanisme terbaik bagi penyelesaian perkara seratus anak yang berhadapan dengan hukum di Australia tersebut. Baik melalui mekanisme Mutual Legal Assistance ataupun mekanisme ekstradisi.
Kedua, kepada berbagai pihak yang langsung maupun tidak bertanggung-jawab atas nasib warga negara yang sedang berhadapan dengan hukum di luar wilayah hukum Indonesia, untuk tidak mengulang dan cenderung lamban dalam bertindak sehingga memicu persoalan baru yang lebih rumit dalam upaya penyelesaian.
Ketiga, meminta Kementrian Hukum dan HAM untuk segera membuka akses saluran diplomatik, agar proses hukum yang berjalan dapat terus dipantau dan dikelola atas nama tanggung-jawab negara terhadap warga negara yang sedang bermasalah di luar wilayah hukum Indonesia.
Keempat, meminta Kementrian Dalam Negeri untuk melakukan evaluasi atas mekanisme pemenuhan hak keperdataan seseorang yang selama ini cenderung diskriminatif, dan tidak memberikan jaminan kepastian bahwa setiap anak yang lahir memiliki tanda bukti kelahiran.
Jakarta, 17 Oktober 2011
Badan Pengurus Nasional
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia – PBHI
Angger Jati Wijaya
Ketua