PENANGKAPAN Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar bersama sejumlah tersangka pelaku tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), patut memproleh catatan apresiasi. Bukan hanya karena korupsi di lembaga penegakan hukum dan atau yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, sudah semestinya merupakan salah satu fokus penindakan dan pembongkaran tindak pidana korupsi, keterlibatan Ketua MK merupakan titik balik dari upaya menjadikan lembaga negara dibidang penegakan hukum sebagai pelopor pembersihan aparaturnya dari korupsi.
Kasus ini tentu langsung maupun tidak menampar wajah moralitas dan komitment kita sebagai bangsa, mengingat bahwa sebagai Ketua MK, sering mereproduksi keputusan dengan bertindak atas nama Tuhan Yang Maha Esa. Atau dalam keyakinan masyarakat, Kedudukan Ketua Mahkamah diposisikan setara dengan wakil Tuhan di muka bumi.
Di tengah spirit optimisme warga bangsa ini untuk keluar dari belitan kasus korupsi, penangkapan Akil Mochtar oleh KPK, semakin megaskan bahwa rumor di masyarakat tentang lembaga peradilan kita merupakan sarang tindak pidana korupsi, penyuapan dan jual beli putusan memperoleh pembenaran tak terbantahkan.
Penangkapan Ketua MK dengan demikian merupakan preseden buruk yang mencederai harapan keadilan rakyat, penghargaan Hak-Hak Manusia, serta tegaknya konstitusi sebagai pilar utama dari demokrasi, negara hukum serta peradilan yang kredibel, akuntabel dan bermartabat.
Mendasarkan pada kasus penangkapan Akhil Mochtar bersama tersangka lain dalam dugaan kasus korupsi, Perhimpunan Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) sebagai bagian integral dari masyarakat sipil perlu memberikan beberapa catatan:
1. Diperlukan evaluasi menyeluruh berkaitan dengan mekanisme rekruitmen, pengawasan, serta pertanggung jawaban Institusi MK maupun Hakim-Hakim Konstitusi di dalam institusi MK.
2. Kewenangan seleksi Hakim Konstitusi yang hanya merupakan otoritas Parlemen dan Presiden selain terkesan elitis juga berpotensi berlangsungnya diel politik yang bermuara pada penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana korupsi.
3. Perlu menyusun rumusan baru tentang mekanisme penyelesaian sengketa Pemilu, termasuk Pilkada di dalamnya, yang dapat menghindarkan penyelesaian perkara sengketa dari potensi penyuapan dan atau jual beli putusan.
4. Dengan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah, kasus Akil Mochtar semestinya diposisikan sebagai pintu masuk dalam upaya pembersihan MK dan lembaga penegakan hukum pada umumnya. Terutama dari tindak pidana korupsi, penyuapan, jual beli putusan, hingga diel-diel politik tertentu terkait dengan sengketa perundangan, Pemilu dan atau Pilkada.
Jakarta 4 Oktober 2013
Badan Pengurus Nasional
Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
Angger Jati Wijaya
Ketua (081229496145)