Secara normatif memang ada sejumlah alat hukum yang dimaksudkan sebagai jaminan atas hak-hak tersangka dan atau terdakwa. Seperti pasal 52 – 68 KUHAP. Undang Undang No. 12 tahun 2005 tentang ratifikasi hak sipil dan politik. Hingga Peraturan Kapolri (Perkap) No. 08 tahun 2009. Akan tetapi tetap saja aturan tersebut dalam pelaksanaannya menjadikan tersangka dan atau terdakwa sebagai pihak yang tanpa jaminan perlindungan.
“Tidak adanya mekanisme pengawasan serta sangsi yang tegas terhadap pelaku pelanggaran, merupakan salah satu faktor kenapa hak tersangka dan atau terdakwa hingga hari ini menjadi fakta gelap bagi penegakan hukum dan perlindungan Hak Asasi Manusia” lebih jauh Angger Jati Wijaya memaparkan.
Berdasarkan hal tersebut PBHI Nasional mulai tahun 2011 ini merancang satu agenda kegiatan “Monitoring dan Advokasi Hak Tersangka dan atau Terdakwa” yang melibatkan 6 (enam) PBHI wilayah, yakni PBHI Sumatera Barat, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Jawa Tengah dan PBHI DIY.
Selain dimaksudkan sebagai sebentuk pengawasan, program Monitoring dan Advokasi diselenggarakan sebagai bagian integral dari agenda PBHI Nasional dalam turut serta mendorong percepatan Institusional Reform Lembaga Kepolisian serta jaringan advokasi perubahan KUHAP yang seperti jalan di tempat.
“Sealain tertib hukum dan formulasi KUHAP yang mencerminkan upaya maksimal dalam menghadirkan harapan keadilan, telah cukup lama rakyat merindukan hadirnya Polisi yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia” Tegas Angger Jati Wijaya. ***