Momentum 26 Juni 2013 merupakan momentum penting untuk memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional. Sudah 26 (dua puluh enam tahun) paska penandatanganan Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia), praktek-praktek penangkapan dan penahanan sewenang-wenang disertai penyiksaan bukanlah hal baru dan telah menjadi umum dilakukan oleh kepolisian. Kasus-kasus penyiksaan Aparat kepolisian dalam kasus penanganan aksi unjuk rasa mahasiswa, Buruh dan Rakyat selalu dihadapakan pada moncong senjata dan tindakan penyiksaan. Dalam kasus penanganan aksi-aksi unjuk rasa yang berakhir pada tindakan kekerasan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang disertai penyiksaaan kerap dilakukan oleh aparat kepolisian.
Sejak dideklarasikan Pengesahan Convensi Anti Penyiksaan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dinyatakan menyatakan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 26 Juni 1987, pemerintah Republik Indonesia menyambut baik dengan menandatangani konvensi itu pada tanggal 23 Oktober 1985, dan meratifikasi Convensi Anti Penyiksaan dalam bentuk Undang–Undang No. 5 Tahun 1998. Tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia). Indonesia sebagai negara pihak yang sudah menandatangani mempunyai kewajiban untuk Menghormati, Melindungi dan Memenuhi hak asasi manusia. Dalam konstitusi UUD 1945 Pasal 28 G ayat (2) sudah jelas termaktub “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”.
Indonesia sebagai negara pihak untuk sesegera mungkin meratifikasi Optional Protocol Convensi Anti Penyiksaan, hal ini penting didalam tersedianya mekanisme nasional selain Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP) untuk menjamin agar masyarakat bebas dari segala bentuk penyiksaan sebagai salah satu hak non derogable rights (hak yang tidak dapat di kurangi, dibatasi ataupun dihapus dengan alasan apapun). Oleh karenanya, pada peringatan Hari Anti Penyiksaan Internasional pada tanggal 26 Juni 2013, PBHI sebagai salah satu sebagai organisasi Non Pemerintah yang peduli kepada pemenuhan hak asasi manusia dengan ini menyatakan sebagai berikut :
1.Menuntut SBY- Boediono dan DPR RI segera meratifikasi Optional Protocol Convensi Anti Penyiksaan dan merevisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai mekanisme nasional untuk menjamin agar masyarakat bebas dari penyiksaan ;
2.Menuntut SBY-Boediono untuk segera menghapuskan segala bentuk penyiksaan dan perlakuan kejam dan tidak manusia atau tindakan kejam lainnya yang bertentangan dengan konvensi anti Penyiksaan ;
3.Menuntut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) agar berperan aktif dalam melakukan pencegahan penyiksaan dan memberikan rekomendasi terbuka kepada publik terhadap pelaku penyiksaan ;
4.Menuntut Pemerintah Indonesia harus memberikan jaminan sebuah mekanisme penghukuman terhadap pelaku dan atau aparat penegak hukum yang melakukan tindakan penyiksaan kepada warga negara ;
5.Menuntut Pemerintah Indonesia segera memberikan kompensasi dan rehabilitasi kepada semua korban penyiksaan dan korban pelanggaran HAM lainnya.
Demikianlah siaran pers peringatan hari anti penyiksaan ini kami sampaikan, atas perhatian dan liputannya diucapkan terimakasih.
Jakarta 26 Juni 2013
Badan Pengurus Nasional
Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)