Keputusan Kepala Polri Jenderal Badrodin mengganti Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komjen Budi Waseso dan keputusan Presiden Joko Widodo mengganti Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) RI Komjen Anang Iskandar menimbulkan komentar sejumlah pihak. Dengan pergantian ini Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) merasa khawatir seiring pernyataan Budi Waseso di media yang intinya hendak menghilangkan rehabilitasi bagi pengguna narkotika, mengirimkan mereka ke penjara atau penahahan akan menghemat anggaran negara, lebih efesien dan efektif dalam menyeleasaikan, serta mendorong untuk dilakukan hukuman mati bagi pihak-pihak yang dianggap sebagai gembong narkotika.
Jika pernyataan itu diiringi pelaksanaannya, PBHI khawatir dengan kemungkinan praktik yang sewenang-wenang atas hak-hak tersangka dan terdakwa oleh BNN yang diikuti oleh Kejaksaan. Karena banyak kasus tindak pidana adalah kasus narkotika. Kekhawatiran ini didasarkan pada beberapa persoalan berikut.
Pertama, terjadi proses yang tidak transparan ketika Presiden Jokowi menentukan pihak yang menduduki Kepala BNN, mengingat sebelumnya terjadi peristiwa penggeledahan kantor PT Pelindo II yang dilakukan para petugas Bareskrim yang dikawal dengan petugas berseragam yang menenteng senjata laras panjang.
Kedua, harus diingat bahwa BNN bukan lagi lembaga yang bersifat kordinasi yang sebelumnya ketuanya adalah ex officio dari Kapolri. Kepala BNN harus dipegang oleh pihak yang profesional yang mengetahui permasalahan narkotika. Dia tidak hanya pada memahami pemberantasan perdagangan gelap narkotika, namun juga terkait pencegahan dan penanganan penyalahgunaan narkotika serta dampak-dampak yang dihasilkan dari perdagangan gelap narkotika, sehingga tidak hanya terpaku pada pihak yang berasal dari Polri.
Ketiga, pernyataan Kepala BNN Budi Waseso yang menolak rehabilitasi pengguna narkotika dan lebih menginginkan para pengguna dikirimkan ke penjara merupakan pernyataan yang kurangnya memahami dan sekaligus pengalaman dalam melihat masalahn narkotika. Pendekatan mengirimkan pengguna narkotika ke penjara dikhawatirkan akan gagal mengatasi permasalahan inti dari penyalahgunaan narkotika. Diperlukan pendekatan kesehatan dan dukungan sosial, sebagaimana terkandung dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 serta Protocol 1972 yang mengubahnya, juga Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 yang mendasari lahirnya ketentuan alternatif penghukuman bagi pengguna narkotika sejak UU No 22 Tahun 1997 dan kemudian diubah menjadi UU No 35 Tahun 2009;
Keempat, mempertanyakan semangat pemberian hukuman mati bagi gembong narkotika dengan dasar Indonesia masuk ke dalam kategori darurat narkotika. Penting menjadi refleksi bersama apakah proses pengambilan data yang dijadikan dasar Indonesia darurat narkotika sudah benar? Apakah proses hukum yang dijalankan juga sudah benar serta tidak ada alternatif penghukuman lainya. Apakah mereka yang dihukum memang benar merupakn tokoh utama dalam perdagangan gelap narkotika, atau hanya sebagai kurir atau kaki tangan?
Kelima, penting bagi Presiden, DPR dan masyarakat untuk memberikan pengawasan ekstra terhadap langkah dan kerja Kepala BNN, sehingga upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan perdagangan gelap narkotika tepat sasaran, yakni lebih ditujukan pada pelaku perdagangan gelap narkotika dan menjadikan para pengguna narkotika sebagai korban yang harus dibantu dalam mengatasi permasalahan dampak buruk penggunaan narkotika.
PBHI juga menganjurkan kepada DPR RI untuk menggunakan kewenangannya dalam meminta laporan terkait permasalahan pergantian Kepala BNN. Tukar posisi antara Anang Iskandar yang berpengalaman di bidang narkotika dengan Budi Waseso yang masih kurang namun sudah membuat pernyataan yang kurang sejalan dengan ketentuan hukum serta konvensi dan protokol internasional. Siapa pun penegak hukum, menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak tersangka dan terdakwa merupakan kewajibannya.
Jakarta, 06 September 2015
Badan Pengurus Nasional
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
Suryadi radjab