Senin, 16 Januari 2023, sidang perdana Tragedi Kanjuruhan digelar dengan Terdakwa AH (Ketua Panpel Arema FC), SS (Security Officer), AKP Hd (Danki 3 Brimob Polda Jatim), Kompol WSP (Kabag Ops Polres Malang), dan AKP BSA (Kasat Samapta Polres Malang), yang didakwa dengan Pasal 359-360 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian, lalu Pasal 103 ayat (1) jo. Pasal 52 UU No. 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan.
Sejak awal, proses hukum terhadap tragedi yang menghilangkan setidaknya 135 nyawa dan 24 luka-luka (versi Kepolisian), dibalut dengan penuh rekayasa dan kejanggalan, bukan untuk keadilan bagi korban.
Pertama, hasil investigasi TGIPF dan KomnasHAM yang sengaja tidak mengurai hierarki pertanggungjawaban secara utuh dan holistik, dengan menghilangkan unsur negara (mekanisme ijin keramaian dan pengamanan) dan komando aparat keamanan (Polri dan TNI), jadi hanya sebatas eksekuor lapangan. Padahal jelas, pasca Kapolres Malang meninggalkan Stadion, ada serangan sistematis dan masif oleh puluhan aparat dengan menembakkan gas air mata secara membabi buta ke tribun selatan, padahal flare berasal dari tribun VIP dan pitch invader dari tribun timur. PBHI menilai, “Ada tujuan khusus dari penugasan TGIPF dan KomnasHAM yakni untuk merekayasa investigasi dan temuan agar tidak mengarah pada pelanggaran HAM Berat. Jadi, tidak sampai pada pertanggungjawaban di level atas: Presiden dan jajaran Kementerian yang terlibat dalam rapat bersama Kapolri dan Panglima TNI, serta Ketua PSSI selaku penerima ijin tunggal.”
Kedua, proses hukum tidak dilakukan secara transparan, terjadi undue delay (pelambatan proses secara sengaja), dan tanpa melibatkan korban, serta terjadi konflik kepentingan pembelaan oleh Kepolisian terhadap 3 Terdakwa dari Kepolisian. Akibatnya, penyidikan tidak jelas arahnya, tidak jelas bukti dan saksi, bahkan Tersangka AHL (Direktur Utama PT LIB) dikeluarkan dari tahanan karena telah habis masa penahanan oleh Penyidik Polda Jawa Timur, akibat berkas penyidikan yang tidak kunjung diselesaikan.
Ketiga, akses persidangan yang sengaja dipindahkan dari Malang ke Surabaya, lalu digelar secara ditutup. Bahwa peristiwa dan pasal yang didakwakan adalah tindak pidana umum yang seharusnya disidangkan secara terbuka untuk umum, tidak bisa beralasan keamanan dan ketertiban padahal tidak terjadi apa-apa. Bahkan, keluarga korban dihalang-halangi untuk menyaksikan persidangan, lalu jurnalis juga dilarang untuk meliput secara langsung. Tegas, sesuai Pasal 153 Ayat (3) KUHAP dan Pasal 13 ayat (1) dan (2) UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. PBHI meminta, “Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan MA harus memeriksa pemindahan dan ditutupnya sidang Tragedi Kanjuruhan, karena melanggar Pasal 13 ayat (3) UU 48/2009 sehingga berpotensi batal demi hukum.”
Keempat, PBHI juga mencatat pelanggaran hak asasi keluarga korban sebagai pencari keadilan, akibat ketiga catatan di atas. Terdapat pelanggaran terhadap equality before the law (Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 29 UU 39/1999 tentang HAM serta hak memperoleh keadilan (Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945 dan Pasal 17 UU 39/1999 tentang HAM). PBHI menuntut, “KomnasHAM dengan Komisioner/Anggota yang baru, harus memperbaiki kinerjanya dalam Tragedi Kanjuruhan, paling tidak mengusut pelanggaran hak-hak korban dalam mencari keadilan akibat peradilan fiktif terhadap pelaku, yang tidak menyentuh pertanggungjawaban negara dan unsur komando, termasuk persidangan yang janggal karena pemindahan lokasi dan diselenggarakan secara tertutup.”
Presiden Joko Widodo harus membenahi sistem sepakbola nasional secara holistik dan sistemik, penyelesaian proses hukum yang berkeadilan dan reformasi sektor keamanan dalam perijinan dan pengamanan menjadi kunci utama, agar tragedi tidak terulang kembali.
Jakarta, 22 Januari 2023
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
Julius Ibrani (Ketua)
Gina Sabrina (Sekjen)
Ganda Sihite (Staf Advokasi)