Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) sesalkan perilaku penyidik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri yang berlebihan dalam memeriksa atau menyidik Bambang Widjojanto (BW) sebagai tersangka mengarahkan “keterangan palsu” atas seorang saksi, pada 3 Februari 2015. Perilaku ini berulang, karena sebelumnya, pada 23 Januari, tindakan berlebihan juga dilakukan petugas Bareskrim ketika menangkap. Dugaan perilaku berlebihan ini dapat mengarah pada pelanggaran hak-hak tersangka.
Perilaku petugas Bareskrim yang tidak patut dapat diindikasikan atas beberapa penggalan kejadian sebagai berikut. Pertama, rentang waktu penyidikan kedua ini justru berlangsung dalam tempo 11 jam dengan cecaran lebih seratus pertanyaan, padahal sangkaan tindak pidana yang dituduhkan terhadap BW hanyalah mengarahkan “keterangan palsu”. Mengapa begitu lama interogasi yang berlangsung dan begitu banyak daftar pertanyaan yang diajukan? Apa relevansi antara ratusan pertanyaan yang dicecar para petugas Bareskrim dengan tuduhan yang ditimpakan kepada BW? Apakah modus operandinya untuk membuat BW letih dan kehilangan fokus untuk menjawab? Bila demikian motif atau tujuannya, maka Bareskrim sedang mengarah pada praktik penyiksaan (torture) – pelanggaran hak-hak manusia yang berat.
Kedua, dengan menggunakan tenaga Provost, Bareskrim melakukan tindakan “mengusir” para penasehat hukum yang mendampingi BW ketika menghadapi interogasi para petugas Bareskrim adalah tidak patut. Ada penasehat hukum BW yang mengaku diintimidasi. Bareskrim juga hanya mengizinkan dua dari 20 penasehat hukum yang mendampingi BW dalam interograsi. Namun, dari 20 penasehat, mereka dapat bergantingan mendampingi BW.
Ketiga, para petugas penyidik Bareskrim tidak tegas – menghadapi keragu-raguan atau galau – dalam menetapkan pasal pidana yang disangkakan terhadap BW. Penasehat hukum BW mengungkapkan, semula pasal yang disangkaan adalah Pasal 242 KUHP juncto Pasal 55 KUHP pada 23 Januari, menjadi Pasal 242 ayat (1) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP. Sehingga terkesan bahwa Bareskrim mengubah seenaknya, dan yang semula adalah salah. Maka, penangkapan BW sebelumnya dapat dinilai tidak sah atau ilegal.
Keempat, memprotes sikap penyidik Bareskrim Polri yang tidak memberikan turunan atau salinan Berita Acara Pemeriksan (BAP). Sikap yang tidak memberikan berkas atau salinan BAP kepada BW atau penasehat hukumnya adalah perilaku yang berlawanan dengan Pasal 72 KUHAP. Selain itu, Bareskrim juga dapat dituduh berperilaku tidak transparan yang juga berlawanan dengan penegasan Presiden Joko Widodo.
Dalam kesempatan ini PBHI mendukung sikap BW yang tidak bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dipandang tidak relevan atau mengada-ada dibandingkan dengan tuduhan Bareskrim. PBHI juga mengapresiasi sikap BW yang tidak mangkir – menunjukkan keberanian – untuk memenuhi interogasi Bareskrim.
Namun demikian, perilaku yang berlebihan, mengubah pasal yang terkesan mengada-ada, daftar interogasi yang tidak relevan, serta sikap tidak transparan para petugas Bareskrim sangat disesalkan, telah mengulangi cara kerja yang buruk. Kerja yang buruk ini harus menjadi catatan bagi Presiden Joko Widodo yang sudah menegaskan “jangan ada kriminalisasi dan penegak hukum harus bekerja secara transparan”. PBHI juga meminta supaya Bareskrim mematuhi KUHAP dan hak-hak BW sebagai “tersangka”.
Jakarta, 5 Februari 2015
Badan Pengurus Nasional PBHI
Suryadi Radjab
Sekretaris