Rilis Pers
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
Seleksi Anggota Kompolnas: Pastikan Transparansi dan Partisipasi Publik Demi Agenda Reformasi Polri dan Kebutuhan Keadilan Masyarakat.
Pada pagi 21 Juni 2024 telah beredar nama-nama anggota Panitia Seleksi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang berada dibawah Kemenkopolhukam yang direncanakan akan di rilis jam 13.00 Wib pada siang hari ini.
PBHI menyoroti proses seleksi Kompolnas ini sebagai satu titik balik yang harusnya menjadi momentum kuat dalam mengembalikan marwah dan martabat Polri dari aspek kinerja, evaluasi serta menjawab berbagai macam kebutuhan keadilan dari masyarakat. Dan oleh karenanya, segala cita cita tersebut hanya dapat tergambarkan apabila Kompolnas yang memiliki peran signifikan sebagai mitra strategis Polri juga diperkuat oleh anggota-anggota yang memiliki perspektif yang progresif dalam memperbaiki kinerja Polri, mengusulkan terobosan-terobosan yang berani serta dapat menjadi gerbang atau jembatan bagi kebutuhan keadilan masyarakat yang mendesak yang berada di pundak pertanggungjawaban Polri.
Kondisi Obyektif Polri: Titik Nadir Kinerja dan Citra
Berbagai macam persoalan di Polri, tidak dapat dilepaskan begitu saja dari Kompolnas, yang juga memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan Polri berada pada jalur-jalur rel yang tepat dan tidak melenceng. Namun Faktanya, masyarakat menilai mulai dari berbagai macam kasus yang viral seperti kasus Ferdy Sambo, Teddy Minahasa, Kasus Vina Cirebon dan kasus lainnya sehingga tercetus Hastag yang dibuat oleh masyarakat yaitu “No Viral No Justice”, lalu fenomena polemik internal Polri, dugaan politisasi instansi pada Pemilu 2024 lalu, bahkan posisi-posisi politik yang di isi oleh pejabat-pejabata tinggi dan perwira tinggi Polri melalui mekanisme PJ atau PLt kepala Daerah. Belum lagi persoalan lain, bahwa sepanjang Januari-April 2024, berdasarkan Laporan Komnas HAM hingga pemantauan PBHI, telah terjadi 198 peristiwa kekerasan yang melibatkan kepolisian. Adapun kategori pelanggaran berupa penembakan, penganiayaan, penyiksaan (torture), penangkapan sewenang-wenang (arbitrary arrest), pembubaran paksa, tindakan tidak manusiawi, penculikan, pembunuhan, penembakan gas air mata, water cannon, salah tangkap, intimidasi, bentrokan, kejahatan seksual, kriminalitas, hingga extrajudicial killing, lalu dugaan rekayasa kasus seperti yang terjadi pada kasus Ferdy Sambo, Teddy Minahasa ataupun kasus Vina Cirebon,
Kemudian berdasarkan Pemantauan PBHI, sepanjang tahun 2023 keterlibatan Polri di Papua “peristiwa pelanggaran hak asasi yang utama dilakukan terhadap kebebasan berpendapat di muka umum. Ekspresi terhadap apa yang terjadi Papua ini paling besar dilanggar sebanyak 50%. Nomor dua, pelanggaran hak asasi yang terjadi adalah hak atas rasa aman akibat tindakan represif mulai dari cluster tindakan hukum penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, tindakan fisik pemukulan hingga pembunuhan yang menyebabkan 47,1% berupa pelanggaran hak atas rasa aman. Dan dari keseluruhan peristiwa tersebut, aparat keamanan yang terlibat sebagai pelaku terdiri dari Polri sebanyak 87,9%.
Ketiadaan Representasi Masyarakat Sipil: Minus Perspektif Korban dan Keadilan Masyarakat
Kondisi demikian harus dibebankan kepada Panitia Seleksi yang akan memilih calon calong Anggota Kompolnas nantinya. Namun, berdasarkan pantauan PBHI, atas nama-nama yang beredar, PBHI menilai ada beberapa catatan seperti misalnya pertama, minimnya representasi dari masyarakat sipil yang memiliki perspektif korban dan perspektif kebutuhan masyarakat. Dampaknya dalam pemilihan anggota Kompolnas, Panitia Seleksi bisa atau bahkan diduga menggunakan perspektif Esprit de Corps, mencari anggota anggota kompolnas yang bukan berani dan progresif untuk melakukan terobosan-terobosan untuk memperbaiki citra dan kinerja Polri. Kedua, minus keterlibatan atau partisipasi publik dalam proses, sehingga berdampak pada kurangnya atau biasnya catatan-catatan terkait fakta atau bahkan evaluasi kinerja dan citra Polri yang harusnya menjadi pijakan atau indikator dalam menguji dan menilai calon anggota Kompolnas nantinya.
Momentum Politik
Berdasarkan ketentuan Pasal 38 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 dan Pasal 4 Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2011, Tugas Kompolnas adalah Membantu Presiden dalam menentukan arah kebijakan Polri; dan Memberikan pertimbangan ke Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Lalu pada Permenko Polhukam No 2 Tahun 2018, Kompolnas yang berada dibawah kemenkopolhukam yang saat ini dipimpin oleh Hadi Tjahjanto yang berlatar belakang TNI, yang tentunya memiliki persepektif yang berbeda dengan Polri yang bernuansa sipil. Kondisi ini dilengkapi dengan momentum politik penghargaan tanda kehormatan Bintang Bhayangkara Utama yang diberikan oleh Polri Kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Presiden terpilih. Tentu ini menimbulkan banyak pertanyaan, apakah momentum politik ini mempengaruhi institusi Polri tetap independen atau kembali ke masa Orde Baru Polri berada dibawah ABRI.
Meskipun tidak dapat dipungkiri, bahwa kompolnas hari ini cukup berani dari berbagai hantaman terhadap kasus besar seperti dugaan Rekayasa Kasus Ferdy Sambo, Teddy Minahasa maupun yang saat ini sedang viral yaitu Kasus Vina Cirebon, dan terus bergerak cepat merespon segala fenomena tersebut. Sehingga dapat menjadi rujukan bagi panitia seleksi untuk memilih anggota kompolnas yang lebih berani dan progresif untuk memparbaiki citra dan kinerja Polri di mata masyarakat.
Oleh sebab itu PBHI mendesak:
- Presiden RI dan Kemenkopolhukam RI agar memastikan ruang partisipasi publik seluas luasnya dalam setiap tahapan dan proses seleksi Kompolnas
- Melibatkan Kelompok masyarakat sipil yang selama ini konsern dan bekerja uuntuk Reformasi Polri sehingga memperkaya dan pengalaman dalam menguji dan menilai anggota kompolnas.
Jakarta, 21 Juni 2024
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
Julius Ibrani (Ketua Badan Pengurus Nasional)