Secara diam-diam, Badan Pembinaan Hukum TNI melakukan pembahasan RUU TNI pada April 2023 lalu. Dalam dokumen yang beredar, terdapat beberapa poin perubahan, yaitu perluasan fungsi TNI (Pasal 3), Operasi Militer Selain Perang (Pasal 7), perluasan penempatan di jabatan sipil (Pasal 47), perpanjangan masa dinas keprajuritan (Pasal 53), penghapusan kekuasaan peradilan umum bagi prajurit TNI (Pasal 65), dan anggaran (Pasal 67). Perubahan-perubahan ini menunjukkan adanya perubahan cara pandang dan peran militer di luar sektor pertahanan negara.
Hal ini juga dapat dilihat dari kondisi TNI sekarang yang sering kali melakukan aktivitas di luar dari kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Misalnya, perjanjian TNI dengan perusahaan yang telah diakui proyeknya sebagai Proyek Strategis Nasional untuk melakukan pengamanan di daerah proyek. Tindakan ini jelas bertentangan dengan kewenangan TNI dalam UU TNI.
Menyikapi hal tersebut, PBHI menyelenggarakan Diskusi Hukum dan HAM ke-30 (DUHAM #30) dengan mengangkat tema “RUU TNI: Kajian Kritis dalam Konteks Gerakan Sosial Buruh dan Demokrasi”. Diskusi ini turut menghadirkan Unang Sunarno (KASBI), Jumisih (FSBPI), Syarif Arifin (Lembaga Informasi Perburuhan Sedane), dan Feri Kusuma (Centra Initiative). Para pembicara menyatakan bahwa RUU TNI memiliki sejumlah potensi bahaya bagi gerakan sosial terutama gerakan buruh.
“Buruh tidak mau diintervensi oleh alat kekuasaan negara dalam menyelesaikan masalah perburuhan… wacana Revisi UU TNI ini bahaya bagi pergerakan kaum buruh Sebab ini mengakumulasi watak negara soal penguasaan kapital.” ungkap Syarif. Syarif menyatakan pula bahwa kehadiran tentara pada ranah sipil jelas akan menghancurkan gerakan buruh. Pada kesempatan itu, Syarif juga memberikan pemaparan bagaimana bentuk-bentuk keterlibatan TNI dalam menangani masalah perburuhan dari periode tahun 1950-an, tahun 1950-1990, hingga tahun 2010-an.
Selanjutnya, Sunar dari KASBI menyatakan bahwa, “Revisi UU TNI bisa jadi untuk mengamankan kekuatan modal dan investor. Sekalipun Revisi UU TNI memunculkan tentara sebagai alat pertahanan negara, juga sebagai keamanan negara. Jadi kita kembali pada dwifungsi yang dulu kita tuntut dihapuskan itu.” Sunar menyatakan terdapat benang merah dari berbagai praktik legislasi ugal-ugalan pemerintah sejak tahun 2019, mulai dari UU KPK, UU Minerba, RKUHP, dan Revisi UU Ketenagakerjaan melalui UU CK hingga wacana Revisi UU TNI ini.
Jumisih menyoroti dampak dari Revisi UU TNI terhadap perempuan buruh. “Ini seperti kembali ke Orde Baru. Orde Baru itu berusaha memberikan pesan kepada buruh perempuan ketika membunuh Marsinah, pertama, jangan macam-macam karena tempatmu seharusnya berada di ranah domestik, kedua, kalau anda macam-macam, mati konsekuensinya.” “TNI digunakan negara untuk membungkam perempuan.”
“Satu hal penting yang harus diperhatikan ialah mengenai wacana Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum dan kejahatan akan diproses di Peradilan Militer, bukan Peradilan Umum. Maka potensi kasus seperti Marsinah sangat besar terjadi lagi, apa lagi diproses di Pengadilan Militer yang tidak memberikan akses bagi keluarga korban, pengacara, kerabat korban untuk mendampingi korban. Ini adalah ancaman serius bagi mahasiswa dan buruh.” tutur Feri.
Pada akhir acara, Julius Ibrani, Ketua BPN PBHI juga menyampaikan pandangan PBHI terkait Revisi UU TNI. Menurutnya, tradisi militer di Indonesia ternyata tidak pernah beranjak dari rezim, bahkan setelah reformasi. Julius berharap diskusi ini dapat memperkuat tradisi masyarakat sipil dari hulu ke hilir sehingga menguatkan buruh dalam konteks hubungannya dengan menguatkan aspek-aspek perjuangan sipil.
22 Juli 2023
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)