Press Release
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
Revisi UU Pilkada: Pembajakan Konstitusi dan Pengokohan Dinasti Jokowi
Revisi UU Pilkada yang dilakukan oleh DPR RI bukan hanya sebuah manuver legislatif, melainkan manuver berbahaya yang menodai prinsip-prinsip demokrasi dan melanggar konstitusi. Badan Legislasi (Baleg) mengklaim bahwa revisi ini merupakan tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat pencalonan kepala daerah. Namun, klaim tersebut adalah kamuflase untuk melancarkan agenda tersembunyi dalam melanggengkan kekuasaan rezim despotik.
DPR bajak Putusan MK Upaya Lancarkan Pencalonan Pangeran Jawa
Alih-alih mengikuti perintah MK terkait persyaratan pencalonan gubernur, bupati, dan walikota, revisi ini justru bertujuan untuk memperumit penyelenggaraan Pilkada serentak 2024, serta membuka celah bagi sengketa hasil pemilihan umum (PHPU). Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, yang seharusnya memberikan kelonggaran ambang batas (threshold) bagi semua partai politik peserta pemilu, dengan licik diakali oleh Baleg. Pelonggaran tersebut hanya diberikan kepada partai politik yang tidak memiliki kursi DPRD, sementara partai-partai besar tetap harus memenuhi ambang batas 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah pileg.
Keputusan ini diambil hanya dalam kurun waktu 3 jam rapat, bukti tergesa-gesanya DPR dalam merancang undang-undang yang jelas-jelas bertentangan dengan putusan MK, sebab pasal tersebut sudah dibatalkan oleh MK. Revisi ini tentu menguntungkan pencalonan Kaesang, sang “Pangeran Jawa,” sebagai Ketua PSI yang tidak memenuhi ambang batas 20% kursi DPRD untuk menjadi kepala daerah.
Sikap DPR yang mengesampingkan putusan MK adalah bentuk pelanggaran hukum yang serius, menabrak tatanan konstitusional, juga meruntuhkan prinsip checks and balances yang menjadi pilar utama demokrasi. Dengan tindakan ini, DPR telah melakukan pembegalan konstitusi, menunjukkan bahwa lembaga legislatif tidak lebih dari alat untuk melegitimasi pengangkatan “Pangeran Jawa” lewat PSI bagi rezim yang semakin otoriter. Publik pantas merasa khawatir melihat bagaimana revisi ini seolah didikte kekuatan eksekutif, dengan Presiden Jokowi berada di pusat.
Dari KPK, Usia Wapres hingga Pilkada: Orkestrasi Jokowi langgengkan Dinasti Jawa
Preseden buruk ini mengingatkan kita pada gugatan Nurul Ghufron terkait batas usia komisioner KPK yang menjadi batu loncatan bagi Putusan MK No. 90 mengenai ambang batas usia capres-cawapres. Kedua putusan ini, meskipun terkait dengan isu yang berbeda, menunjukkan pola yang sama: upaya sistematis untuk mengubah aturan main politik demi keuntungan segelintir elit yang berkuasa.
Fenomena pendiktean ini mengindikasikan adanya diskriminasi terhadap hak politik warga negara dan menegaskan adanya manipulasi threshold, baik parliamentary maupun presidential, yang memaksa partai-partai politik untuk terlibat dalam transaksi money politic demi meloloskan kandidat pilihan mereka. Hasilnya, demokrasi kita semakin tersandera oleh praktik-praktik politik kotor yang menempatkan kepentingan elite di atas hak asasi rakyat.
Kejanggalan-kejanggalan ini tidak terlepas dari bagaimana Presiden Jokowi telah mengubah kekuasaan eksekutif menjadi alat politik yang otoriter, dengan mengkooptasi kekuasaan legislatif dan yudikatif di bawah kendalinya. Hingga hari ini tidak ada evaluasi yang serius dari DPR terhadap kebijakan Presiden, justru kongkalikong eksekutif-legislatif dalam regulasi anti-HAM terlihat jelas, seperti KUHP, UU Omnibus Law Cipta Kerja, revisi UU KPK, dan UU PSDN, hingga yang paling akhir saat ini, yaitu UU Pilkada.
Semua ini adalah bagian dari orkestrasi politik yang dipimpin oleh Jokowi untuk mengamankan kekuasaannya, Putusan MK seharusnya dipandang sebagai acuan yang mengikat, bukan alat yang dapat diubah sesuka hati oleh DPR dan Presiden. Praktik kekuasaan yang despotik ini harus segera dihentikan dan kembali kepada prinsip-prinsip konstitusi UUD 1945. Karenanya rakyat perlu menyadari bahwa situasi ini mengancam hak asasi mereka dalam politik, baik hak untuk dipilih maupun memilih.
Kami mengimbau seluruh elemen masyarakat, khususnya para pegiat demokrasi, akademisi, dan kelompok masyarakat sipil, untuk:
- Tolak Revisi UU Pilkada: Revisi ini tidak hanya bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, tetapi juga membuka celah bagi penyalahgunaan kekuasaan dan memperkokoh dinasti politik yang semakin otoriter.
- Turun ke Jalan: Seluruh masyarakat, mahasiswa, aktivis, dan kelompok masyarakat sipil untuk turun ke jalan, menyuarakan penolakan terhadap revisi UU Pilkada untuk memperjuangkan demokrasi yang bebas dari manipulasi politik.
- Mengawasi Proses Legislatif: Partisipasi aktif dalam mengawasi dan memberikan tekanan kepada DPR agar menjalankan fungsinya sesuai dengan prinsip checks and balances, bukan sebagai alat kepentingan elit penguasa.
- Mendorong Evaluasi Kritis terhadap Pemerintah: Mendesak evaluasi yang serius dan transparan terhadap kebijakan pemerintah yang cenderung otoriter dan anti-demokrasi.
Jakarta, 22 Agustus 2024
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
Julius Ibrani – Ketua BPN
Annisa Azzahra – Advokasi