Senin, 17 Juli 2023, Presiden Jokowi kembali me-reshuffle kabinet untuk yang ke-9 kalinya, di posisi 1 menteri dan 5 wakil Menteri dan 2 Wantimpres. Mereka adalah Menkominfo Budi Arie Setiadi, Wamenkominfo Nezar Patria, Wamendes Paiman Raharjo, Wamenlu Pahala Mansury, Wakil Menteri BUMN Rosan Roeslani
Wamenag Siaful Dasuki.
Reshuffle: Pergantian Karena Korupsi dan Kontroversi
Sejatinya, Konstitusi UUD Negara RI Tahun 45, menjamin hak prerogatif Presiden untuk mengangkat Pembantu-pembantunya: Menteri, termasuk mengganti (reshuffle). Akan tetapi Kabinet di bawah Presiden Jokowi memperlihatkan akrobatik yang berbeda, pergantian bukan karena perbaikan tapi justru karena kebobrokan yang berkelanjutan. Belum lagi masalah obesitas kabinet yang sebelumnya dijanjikan Presiden Jokowi tidak akan ada di bawah rejimnya, seraya menyindir Kabinet Presiden sebelumnya, SBY. Faktanya, selain obesitas, Kabinet Jokowi juga dijangkiti penyakit bawaan yang lebih mematikan dibanding rejim sebelumnya.
Sebut saja, 2 Menteri terjerat kasus korupsi (Mensos dan Menteri KKP), lalu Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi yang memicu kontroversi lewat pernyataan “doa disisipi bahasa Indonesia” sampai pelarangan cadar dan celana cingkrang bagi PNS (kini ASN), selebihnya memang terbukti “tidak bisa kerja”. Reshuffle Kabinet Presiden Jokowi terakhir ini juga sama: Menkominfo, Johhny G Plate yang terjerat kasus Korupsi BTS. Menyusul, Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo yang juga diperiksa KPK, belum jelas apakah tersangka atau tidak.
Petaka Kabinet: Bukan Berbasis Kompetensi, Hanya Sekedar Bagi-Bagi Posisi
Presiden Jokowi baru saja habis dilumat publik dan media akibat intervensi dalam proses politik demi 2024 yang merusak demokrasi. Dalih kewajiban moral sebagai presiden dalam masa transisi kepemimpinan nasional, justru terbantah dengan fakta bahwa Presiden Jokowi tidak hanya menempatkan sanak familinya dalam jabatan-jabatan publik (Gibran/Walikota Solo, Bobby Nasution/Walikota Medan, Kaesang/Didorong untuk Walikota Depok, dst), tapi juga “cawe-cawe” kepada Prabowo Subianto (Menhan dan Capres 2024) dan Ganjar Pranowo (Capres PDIP).
Reshuffle Kabinet Jokowi justru memperburuk akhir hayat kepemimpinannya. Benar saja, Menkominfo, Budi Arie Setiadi, langsung bicara soal pengawasan terhadap media sosial. Istilah “pengawasan” dimaknai pada era otoriter orde baru sebagai tindakan untuk membungkam “suara publik”, yang sudah dalam kondisi kritis di tangan Presiden Jokowi akibat kriminalisasi aktivis HAM (Haris Azhar dan Fatia M/KontraS, Budi Pego, dll). Belum lagi Wamenkominfo Nezar Patria, yang sebelumnya mendorong laporan terhadap Tempo ke Dewan Pers akibat podcast yang membahas Menteri BUMN, Erick Thohir. Paket maut anti kebebasan berekspresi dan berpendapat yang menjadikan Kominfo seperti Departemen Penerangan di era orde baru.
Sehingga syarat menjadi menteri atau wakil menteri bukanlah kapasitas dan kompetensi, tetapi menjilat Presiden Jokowi dan anti-demokrasi.
Minus Substansi, Surplus Anti-Rakyat: Kebutuhan Pemenuhan HAM dan Keadilan
Mirisnya, tidak ada diskursus apalagi gagasan substantif soal perbaikan sistem demi pemenuhan hak asasi manusia pada posisi yang digantikan. Kominfo misalnya, terkait sistem antikorupsi, atau yang paling mendasar: akses informasi dan internet di wilayah terpencil. Apalagi soal keadilan di isu desa, kebebasan beragama atau berkeyakinan, serta pemanfaatan BUMN demi kesejahteraan rakyat, sebagaimana pos-pos kementerian yang diisi.
Padahal, PBHI dan Tim Advokasi untuk Kemanusiaan sedang mendampingi 25 korban gagal ginjal akut atipikal pada anak dari total 323 korban di mana 201 di antaranya yang meninggal dunia. Namun, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin justru sibuk dengan UU Omnibus Law Kesehatan demi industrialisasi sektor kesehatan khususnya privatisasi rumah sakit pemerintah dan otorisasi sertifikasi tenaga kesehatan yang absolut di tangan pemerintah. Lalu, Menteri Sosial, Tri Rismaharini yang angkat tangan tidak mau bertanggung jawab karena alasan ketiadaan anggaran. Dagelan pertanggungjawaban, menghina keadilan, tapi lolos pemecatan.
Reshuffle lebih menggambarkan birahi pribadi Presiden Jokowi untuk bagi-bagi kue politik, selain kepada sanak famili juga kepada para koleganya yang selama ini menjadi kaki-kaki politik kekuasaan Presiden Jokowi.
18 Juli 2023
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
Julius Ibrani (Ketua Badan Pengurus Nasional)