Nurul Gufron, Komisioner KPK, kembali membuktikan dirinya sebagai manusia super di bidang hukum dan tata negara Indonesia, dengan melakukan transformasi politik lembaga KPK melalui positive legislation di Mahkamah Konstitusi (“MK”).
Nurul Gufron dengan mudahnya “mendikte MK” dalam hal transformasi politik KPK dari lembaga penegak hukum di bidang antikorupsi, menjadi mesin politik 2024. Dimulai dengan dirinya sendiri yang melakukan perubahan syarat usia minimal Komisioner KPK dari 50 tahun ke 40 tahun, (Pasal 29 Huruf e UU No. 19 tahun 2019 tentang KPK), lewat putusan MK yang penuh kejanggalan. Misalnya, pertimbangan soal frasa “atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK” tidak lazim dalam seleksi lembaga negara yang tidak ada dalam Konstitusi, UUD 1945 maupun UU KPK.
Sulap Nurul Gufron tentu menimbulkan banyak pertanyaan, utamanya terkait “siapa dia sebenarnya hingga mempunyai kekuatan politik yang begitu luar biasa?”, yang tentu tidak dapat dijawab karena Nurul Gufron bukanlah siapa-siapa. Lantas siapa di belakangnya? Siapa yang menyuruh? Dan mengambil manfaatnya?
Gratifikasi Politik: Perlakuan Khusus terhadap MK, Upah untuk Revisi UU KPK
Hakim MK bukan lagi Negarawan tapi lebih mirip Pegawai Pemerintahan. Berbagai kejanggalan dan pelanggaran terus bergulir seolah bukan kesalahan. Dimulai dengan Pemberian tanda kehormatan Bintang Mahaputera tahun 2020 kepada Hakim MK padahal banyak keanehan dalam putusan dan menurunnya kualitas putusan MK, dan tentunya menganggu independensi dan obyektivitas Hakim MK selaku pemeriksa Undang-Undang yang dibentuk oleh Pemerintah bersama DPR.
Disusul terjadinya hubungan keluarga (ipar) Presiden Jokowi dan Hakim MK, Anwar Usman, yang jelas melanggar Pasal 17 ayat (4) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; dan Penerapan Prinsip Ketidakberpihakan dalam Peraturan MK Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
Udang di balik batu dari perlakuan istimewa terhadap Hakim MK ternyata seiring dengan proses pelemahan KPK dan transformasi KPK menjadi alat politik, melalui Putusan MK yang pada intinya menempatkan KPK sebagai Lembaga eksekutif di bawah kekuasaan Presiden (Permohonan 79/PUU-XVII/2019, 70/PUU-XVII/2019, 59/PUU-XVII/2019, 62/PUU-XVII/2019, 71/PUU-XVII/2019, 73/PUU-XVII/2019, dan 77/PUU-XVII/2019, yang diputus serentak pada 04 Mei 2021). Presiden Jokowi selaku Eksekutif tentu mendapatkan banyak manfaat karena berkuasa atas KPK.
KPK Yang Tidak Berdaya adalah KPK Yang Dapat Diperdaya
Mundur ke belakang, taktik Kuda Troya untuk pelemahan KPK oleh Presiden Jokowi terlihat jelas melalui Firli yang membuat KPK tidak berdaya dengan memberangus habis pegawai dan penyidik berintegritas melalui TWK. Ini sejalan dengan Revisi UU KPK. Meski ada 5 Menteri Kabinet Jokowi yang diciduk KPK yang bukan “kader Jokowi” namun semuanya kader Partai dan membuat Partai Politik “mengamuk” kepada KPK dan Presiden Jokowi. Kondisi ini justru dilihat sebagai peluang bagi Presiden Jokowi yang sedang “renggang” hubungannya dengan partai pengusung dan pendukung.
Tetiba KPK jadi momok bagi politisi dan partai politiknya. Sebut saja, ajang Sirkuit Mandalika yang sarat pelanggaran hak asasi manusia, mulai dari pengrusakan lingkungan, perampasan tanah masyarakat, dan pembiayaan yang tidak wajar, justru tidak tersentuh, sedangkan Formula E yang menyorot Anies Baswedan, salah satu Calon Presiden yang “tidak direstui Jokowi”, malah jadi alat sandera dan bulan-bulanan di KPK, hingga memicu keributan pemecatan Direktur Penyelidikan KPK, Brigjend Pol. Endar Priantoro.
Ini bukti nyata bahwa KPK yang sudah tidak berdaya menjadi alat yang diperdaya, untuk kepentingan politik 2024.
Positive Legislation MK: Seremoni Akhir Peresmian KPK untuk Politik 2024
Pertimbangan putusan perkara nomor 112/PUU-XX/2022 yang diajukan Nurul Gufron, juga banyak kejanggalannya. Selain durasi pemeriksaan dan putusan yang sangat singkat, MK bahkan dengan tegas menjelaskan bahwa KPK harus berada di bawah periode pengawasan Presiden oleh karenanya Pimpinan KPK harus diperpanjang menjadi 5 tahun dengan makna sebagai norma hukum yang baru, yang tidak ada di konstitusi dan bukan mandat UU KPK. Yang kemudian ditafsirkan secara brutal oleh Juru Bicara MK, Fajar Laksono, bahwa mengikat dan berlaku surut/mundur bagi kepemimpinan KPK saat ini.
Yang artinya, bahkan MK merasuk hingga ke level persoalan teknis yakni agar bisa merevisi Keppres 129/P Tahun 2019 tentang Pengangkatan Pimpinan KPK. Ini jelas bertentangan dengan berbagai konstitusi dan UU MK sendiri. Sekaligus menegaskan bahwa MK adalah Pegawai Pemerintahan, dan KPK dijadikan alat politik untuk 2024 mendatang.
Positive Legislation MK yang brutal dan merusak sendi-sendi tata negara Indonesia seperti ini, terlebih lagi menjadikan KPK sebagai alat politik 2024, merupakan preseden buruk dan keruntuhan sistem hukum pada titik terendah. Presiden Jokowi sebaiknya melanjutkan proses seleksi Pimpinan KPK dengan tetap berpegang teguh pada Keppres 129/P Tahun 2009 yang dibentuknya sendiri, membentuk Panitia Seleksi untuk memilih Calon Pimpinan KPK di Desember 2023 nanti.
erlebih lagi, jangan sampai preseden buruk ini justru berbalik digunakan untuk menjatuhan Jokowi, oleh kelompok politik oposisi terhadap Jokowi saat ini, namun dapat berkuasa ke depannya. Mengingat Presiden Jokowi tidak punya partai politik, jadi tidak punya bumper pasca purna-tugas di 2024 nanti.
Jakarta, 26 Mei 2023
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
Andi Nur Ilman (Peneliti PBHI)
Julius Ibrani (Ketua PBHI)