Pada 19 April 2022 Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memutus tidak menerima gugatan perkara dengan nomor 87/G/2022/PTUN.Jakarta yang dilayangkan Koalisi Masyarakat Sipil terkait pengangkatan Mayor Jenderal Untung Budiharto sebagai Panglima Kodam (Pangdam) Jaya. Sebagaimana diketahui Untung Budiharto merupakan anggota Tim Mawar Kopassus yang terbukti bersalah dalam kasus Penghilangan Paksa Aktivis 1997 – 1998. Kami memandang putusan dismissal kasus ini penuh kejanggalan. Kejanggalan tersebut tercermin singkatnya sidang, terkesan terburu-buru dan gagal dalam melihat permasalahan yang nyata-nyata terlihat dalam Keputusan Panglima tersebut. Janggalnya putusan ini secara nyata tidak hanya telah menyakiti rasa keadilan para korban tetapi juga mencoreng wajah penegakan HAM di Indonesia.
Kami memandang pertimbangan Ketua Pengadilan dalam sidang dismissal hari ini tidak hanya mengecewakan, tetapi juga mempertontonkan pembiaran dan bahkan perlindungan terhadap praktik Impunitas di Indonesia. Dalam putusan dismissalnya, Ketua PTUN Jakarta memutus dan menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena Keputusan Panglima TNI yang mengangkat Pangdam Untung Budiharto dianggap bukan kewenangan PTUN untuk mengadili berdasarkan Pasal 2 huruf f UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, melainkan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Militer. Padahal sebagai lembaga peradilan yang terhormat PTUN seharusnya mengetahui bahwa hingga kini Peradilan Tata Usaha Militer belum ada dan oleh karena itu seharusnya kewajiban menyelesaikan perkara tata usaha militer menjadi tanggung jawab PTUN. Hal ini penting untuk memastikan adanya acces to justice bagi warga negara.
Selain itu, kami menilai bahwa Ketua PTUN Jakarta gagal dalam memahami kewenangan yang diberikan Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah yang memperluas definisi KTUN yang dapat disengketakan di PTUN. Pasal tersebut memperluas sumber terbitnya KTUN yang dapat disengketakan di PTUN yakni Keputusan Badan dan/atau Pejabat TUN di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya. Termasuk tata usaha TNI yang sepenuhnya berada di lingkungan kekuasaan eksekutif sebagai penyelenggara pemerintahan di bidang pertahanan.
Di samping itu, gugatan Koalisi Masyarakat Sipil atas objek sengketa yang sama pada 1 April 2022 lalu yang telah diajukan kepada Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta juga tidak mendapat respons. Meskipun secara lisan, Panitera Pengadilan Militer telah menyampaikan penolakan dengan dasar belum tersedianya perangkat dan hukum acara, namun surat jawaban secara tertulis yang dijanjikan oleh Panitera belum juga diterima. Kondisi demikian menunjukkan bahwa secara praktik, keputusan tata usaha militer tidak dapat diuji oleh mekanisme hukum apapun. Hal ini juga secara gamblang membuka tirai eksklusivitas bahkan kekebalan dalam tubuh TNI – yang sejatinya dalam negara demokrasi, tidak boleh ada unsur-unsur yang tidak dapat disentuh oleh hukum. Tidak adanya keterbukaan ini mengakibatkan tiap keputusan militer tidak bisa mendapat masukan atau kritik dari publik. Gugatan atas keputusan Panglima TNI atas penunjukkan Pangdam Jaya sebetulnya menjadi bahan perbaikan bahwa selama ini pengambilan keputusan dalam tubuh TNI sepihak dan sarat subjektivitas. Sementara, tantangan terus tumbuh dari situasi yang terus berkembang. Tidak adanya ruang perbaikan ini telah menutup kesempatan untuk memperbaiki sistem yang ada.
Terhadap penetapan dismissal ini selanjutnya Koalisi akan menggunakan haknya untuk melakukan perlawanan terhadap putusan dismissal ini berdasarkan Pasal 62 UU Peradilan Tata Usaha Negara.
Jakarta, 19 April 2022
Koalisi Masyarakat Sipil
Narahubung:
Alghiffari Aqsa, Hussein Ahmad, Julius Ibrani, Aprilia Tengker, Tioria Pretty, Zainal Arifin