Permasalahan bermula dari perampasan kaset rekaman milik wartawan Trans 7 pada peristiwa tawuran antara SMA 6 dan SMA 70 (16 September 2011). Aksi damai wartawan, 19 September 2011, merupakan kelanjutan dari peristiwa tersebut, yang berakhir dengan bentrokan. Tercatat 7 siswa SMA 6 terluka, dan 4 orang wartawan terluka. PBHI menyayangkan peristiwa bentrokan dan ketidakmampuan aparat kepolisian untuk melakukan tindakan antisipatif.
Pemanggilan terhadap 10 orang siswa pada hari ini (21 September 2011) merupakan pertanda bahwa persoalan ini berpotensi dibawa keranah hukum. Hal ini semakin diperkeruh oleh pernyataan beberapa pihak aparat pemerintah agar proses hukum berjalan. Kekerasan terhadap wartawan dan tindakan menghalang-halangi tugas kewartawanan sudah selayaknya berakhir, namun mengingat pelaku perampasan kaset rekaman dan pengeroyokan terhadap wartawan diduga anak maka hal ini harus mendapat perhatian yang berbeda, karena dilakukan oleh orang yang secara akal pikirannya belum sempurna dan tidak memiliki tujuan yang sama ketika tindakan tersebut dilakukan oleh militer, penegak hukum, pengusaha dll.
Pernyataan Presiden RI, Menteri Hukum dan HAM, kepala kantor kepolisiaan setempat agar proses ini dibawa ke jalur hukum merupakan pernyataan yang tidak tepat, keliru dan tidak mencerminkan jiwa kenegaraan karena beranggapan pemberian sanksi akan dapat menyelesaikan masalah, tanpa mempertimbangkan akibat kedepan terhadap anak yang harus menjalani sanksi yang diberikan oleh negara, sosial dan sekolah yang berdampak pada masa depan anak itu sendiri dan masa depan generasi penerus bangsa. Prinsip penggunaan pidana sebagai upaya terakhir, haruslah tetap diperhatikan khususnya ketika berhadapan dengan anak yang dianggap merusak atau melawan tatanan sosial masyarakat, sehingga penyelesaiaan lain diluar jalur peradilan merupakan upaya utama yang harus ditempuh, semangat sistem peradilan anak merupakan upaya terakhir bila berbagai upaya tidak tercapai dengan semangat yang terbaik bagi anak dan menjauhkan anak dari proses hukum berkelanjutan melalui diversi dan intervensi.
Sistem peradilan anak yang dimiliki oleh Indonesia saat ini masih jauh dari upaya perlindungan dan menjamin kepentingan yang terbaik bagi anak. Peradilan anak sehurusnya tidak hanya dipahami hanya mencangkup perlakuaan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum semata, melainkan juga upaya untuk mengatasi akar permasalahan yang menjadi penyebab mengapa anak berprilaku melanggar hukum pidana dan menerapkan langkah-langkah untuk mencegah prilaku tersebut. Sistem peradilan anak seharusnya memahami anak yang berhadapan dengan hukum harus tetap dipandang sebagai korban dari struktur yang tidak memihak kepada mereka, seperti kurikulum yang lebih menekankan kepada penilaiaan keilmuaan dengan standar yang diterapkan sama, permasalahan keluarga, ekonomi dll.
Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak, seharusnya memperhatikan norma-norma yang melandasi sistem peradilan anak antara lain :
Setiap anak yang dirampas kebebasannya harus dipisahkan dari orang dewasa (Pasal 37 (c));
Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan harus digunakan hanya sebagai upaya jalan lain terakhir dan untuk jangka waktu terpendek yang tepat (Pasal 37 (b));
Setiap anak yang dinyatakan sebagai tertuduh, atau diakui sebagai telah melanggar hukum pidana diperlakukan dengan cara yang sesuai dengan peningkatan rasa penghormatan dan harga diri anak, memperkuat kembali penghormatan anak terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar orang-orang lain, dan memperhatikan umur anak dan keinginan untuk meningkatkan integrasi kembali anak dan pengambilan anak pada peran konstruktif dalam masyarakat (Pasal 40 (1));
Setiap anak yang dinyatakan sebagai atau dituduh telah melanggar hukum pidana mendapatkan perlindungan dan jaminan sesuai hak-haknya (Pasal 40 (2));
Meningkatkan pembuatan undang-undang, prosedur-prosedur, para penguasa dan lembaga-lembaga yang berlaku secara khusus pada anak-anak yang dinyatakan sebagai, dituduh, atau diakui melanggar hukum pidana (Pasal 40 (3));
Mengembangkan mekanisme agar anak tidak memasuki proses peradilan (diversi).
Untuk melakukan penerapan terhadap norma diatas Komite Hak Anak melalui Komentar Umum Nomor 10 (2007) mengenai Hak Anak dalam Peradilan Pidana Anak (Children’s Rights in Juvenile Justice) mengidentifikasi 5 (lima) elemen utama pendekatan komprehensif untuk peradilan anak, meliputi :
Pencegahan kenakalan anak;
Intervensi/diversi;
Mengatur dan mematuhi usia minimum pertanggungjawaban pidana dan batas atas usia untuk peradilan anak;
Memastikan bahwa setiap anak yang diduga atau dituduh telah melanggar hukum pidana menerima perlakuan yang adil dan peradilan yang adil;
Langkah-langkah untuk membatasi penggunaan anak yang dicabut kebebasannya dan peningkatan perlakuan anak dalam tahanan dan kondisinya.
Semangat dalam Konvensi Hak Anak dan penjabaran dalam Komite Hak Anak diatas, pada intinya membawa semangat membangun sistem peradilan yang adil dan ramah terhadap anak (fair and humane) dengan karakteristik yang meliputi :
Berlandaskan hak anak;
Menerapkan prinsip keadilan restorative;
Menempatkan kepentingan terbaik bagi anak sebagai acuan pertama dan utama;
Fokus pada pencegahan sebagai tujuan utama;
Menjadikan sanksi penahan sebagai alternatif terakhir (the last resort) dan jika memungkinkan menahan anak dalam waktu yang sesingkat-singkatnya;
Prinsip proporsionalitas;
Menekankan rehabilitasi dan reintegrasi;
Melakukan Intervensi secara layak dan tepat waktu;
Sampai saat ini, UU Pengadilan anak belum secara maksimal berperan sebagai peradilan anak sebagaimana tanggung jawab pemerintah Indonesia sebagai negara peratifikasi konvensi hak anak. Peradilan anak saat ini hanya modifikasi pengadilan pidana orang dewasa dengan perangkat/sarana yang tidak pernah maksimal, oleh karena PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia) sebagai perhimpunan yang memiliki visi “Terwujudnya negara yang menjalankan kewajibannya untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia” dengan ini menyatakan :
Meminta kepada para pihak terkait, termasuk orang tua siswa, untuk menyelesaikan permasalahan ini secara arif bijaksana dengan memperhatikan yang terbaik bagi anak tanpa harus mengabaikan kepentingan korban dan upaya mendorong kebebasan pers;
Meminta para pihak tidak mengambil pernyataan yang berlebihan yang menimbulkan terlanggarnya hak anak, khususnya hak untuk mendapatkan pendidikan dan mencegah dari stigma buruk masyarakat yang berpotensi merusak masa depan anak tersebut;
Meminta kepada penegak hukum untuk menghilangkan semangat membawa pelaku anak kedepan persidangan untuk diadili, tanpa berupaya mengalihkan proses hukum tersebut demi terwujudnya restorative justice;
Menuntut kepada Presiden dan DPR untuk segera melakukan perubahan sistem peradilan pidana Indonesia dan anak yang berhadapan dengan hukum sebagai bentuk tanggung jawab pelaksanaan kewajiban atas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia.
Jakarta, 21 September 2011
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia
Angger Jatiwijaya Poltak Agustinus Sinaga
Ketua Badan Pengurus PBHI Nasional Ketua Badan Pengurus Wilayah PBHI Ja