Pemerintah Indonesia menetapkan pandemi virus Covid-19 sebagai bencana nasional per Sabtu 14 Maret 2020 oleh Presiden melalui Kepala BNPB. Sampai 24 Maret 2020 tercatat ada 686 kasus positif, 55 korban meninggal dan 30 orang yang dinyatakan sembuh. Di tengah kondisi darurat pendemi ini, berbagai pemberitaan muncul tentang sulitnya masyarakat umum mengakses rujukan/rekomendasi pemeriksaan virus Covid-19, adanya kesalahan diagnosa, hingga perawatan dan fasilitas yang kurang memadai di rumah sakit yang berujung hilangnya nyawa.
Sampai hari ini ada pemberitaan tentang Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang sulit mendapatkan tes swab dengan alasan rumah sakit tersebut penuh (overload) padahal telah mendapatkan rujukan. Dan masih ada antrean panjang di RS Darurat Wisma Atlet untuk bisa melakukan tes berasarkan rujukan RSPI Sulianti Saroso tapi tidak ada kejelasan dan kepastian waktunya.
Di sisi lain, Sekjen DPR RI mengumumkan bahwa 575 orang anggota DPR RI beserta keluarganya dengan jumlah sekitar 2.000 orang akan diprioritaskan untuk menjalani rapid test Virus Covid-19. Namun tidak dijelaskan apakah seluruh Anggota DPR dan keluarganya tersebut memang telah mengalami gejala spesifik terkena Virus Covid-19 atau belum. Seperti diketahui juga, Pemerintah justru bersusah payah “mengimpor” peralatan Rapid Test Covid-19 tersebut dari Tiongkok.
Pengumuman dari Sekjen DPR RI ini tentu sangat mengiris hati nurani dan etika publik, terlebih lagi, negara hukum Republik Indonesia telah menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) terkait Hak Atas Kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, lewat Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945, “Semua orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” kemudian Pasal 28H ayat (1), “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”, serta Kovenan Hak Ekonomi, Sosial Budaya (UU No. 11 Tahun 2005), UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
“Prioritas Rapid test Covid-19 harus dilakukan berdasarkan kebutuhan Pasien, bukan berdasarkan keistimewaan karena status Anggota DPR dan keluarganya. Jika demikian maka telah melanggar prinsip kesetaraan dalam HAM sekaligus terjadi diskriminasi bagi masyarakat umum yang terdampak Covid-19 yang bukan Anggota DPR atau keluarganya. Ini sungguh melecehkan nilai-nilai kemanusiaan.” jelas Julius Ibrani, Sekjen PBHI.
“PBHI mengecam keras rencana DPR RI ini, karena hak atas kesehatan adalah hak dasar seluruh warga negara yang tidak dapat ditunda, dikurangi, dibatasi atau dihapuskan (non-derogable rights). Pasal 14 UU Kesehatan mewajibkan kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Pemenuhan hak atas kesehatan salah satunya dilakukan dengan upaya penyembuhan melalui penyediaan pelayanan kesehatan yang optimal dan tidak diskriminatif“, lanjut Totok Yuliyanto, Ketua PBHI.
Berdasarkan hal-hal di atas, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menuntut tegas, agar:
- Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR RI, Puan Maharani membatalkan rencana rapid test yang diprioritaskan kepada anggota DPR RI beserta keluarganya karena melanggar HAM, khususnya Hak Atas Kesehatan serta bertentangan dengan prinsip HAM, yaitu kesetaraan dan non-diskriminasi;
- Presiden Joko Widodo dan Satgas Covid-19 memprioritaskan rapid test Covid-19 kepada masyarakat luas, utamanya yang berstatus ODP, PDP dan tenaga kesehatan yang berisiko tinggi untuk terdampak; dan
- Komnas HAM RI bersikap proaktif dan turut bekerja dalam penanganan Covid-19 dan memastikan penanganan COVID-19 dilakukan sesuai standar HAM dan Hak Atas Kesehatan, dan bukan kepentingan golongan atau politik. Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Totok Yuliyanto (Ketua) – 082297771782
Julius Ibrani (Sekjen) – 081324969726
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
- Totok Yuliyanto (Ketua) – 082297771782
- Julius Ibrani (Sekjen) – 081324969726