nghasutan, melawan petugas, pengrusakan, perbuatan tidak menyenangkan dll. Inilah yang kini terjadi di Pelabuhan Sape, Bima.
Atas dasar dugaan tindak pidana tersebut, dengan menggunakan dalih penegakan hukum. Kepolisiaan menganggap penggunaan kekerasan menjadi suatu hal yang benar yakni bertujuan untuk melakukan penegakan hukum. Sebagaimana kasus-kasus yang sering terjadi dengan keterangan saksi yang diambil dari pihak kepolisian sendiri atau para pengunjuk rasa yang diintimidasi untuk membenarkan keterangan yang disampaikan petugas kepolisian, berkas perkara dibawa ke pengadilan dan diputuskan bahwa pengunjukrasa lah yang bersalah. Sedangkan kepolisian yang melakukan kekerasan lepas dari jeratan hukum atau tindakan minimal yang diambil biasanya tak jauh dari indisipliner.
Lebih dari itu, selama ini PBHI melihat penangkapan dan penahanan justru menjadi motif untuk melegitimasi penggunaan kekerasan baru yang dilakukan oleh aparatur negara. Atas peristiwa itu, PBHI yang selama ini mendampingi hak tersangka dan terdakwa khususnya ketika memperjuangkan haknya, berpendapat :
Pertama, Pemerintah tidak benar-benar memberikan ruang demokrasi bagi rakyat untuk menyuarakan pendapat dan memperjuangkan hak asasi manusia. Kawalan ketat aparatur negara dan moncong senjata yang diarahkan kepada pengunjuk rasa menegasikan jaminan pemerintah atas hak menyampaikan pendapat dimuka umum dan berkumpul secara damai. Di beberapa pengalaman pelaksanaan hak menyampaikan pendapat di muka umum, kehadiran aparat bersenjata cenderung menjadi ancaman dan memicu kekerasan serta tindakan anarkhi.
Kedua, Kepolisian selama ini cenderung menggunakan celah dalam sistem hukum, yang menjebak para pengunjuk rasa untuk masuk dalam tindak pidana dan mengintrodusir
kasus kekerasan menjadi kasus pidana yang dikenakan kepada para pengunjuk rasa, serta justru membebaskan mereka yang secara nyata melakukan kekerasan;
Ketiga, Penahanan warga Bima yang menjadi tersangka seharusnya ditangguhkan terlebih dahulu sampai adanya kejelasan kesalahan yang dilakukan negara terhadap penangan aksi unjuk rasa di Bima. Sumber kebijakan, relasi koruptif institusi Kepolisian, rantai komando penanganan pengunjuk rasa dengan kekerasan, hingga penyalahgunaan wewenang, kekerasan dan senjata di lapangan harus direkonstruksi secara terbuka dan runtut, demi dan bagi penegakan hukum serta hadirnya keadilan substantif atas nama korban.
Keempat, Lembaga pengawas kewenangan apparatus negara seperti, DPR, Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial seharusnya berperan aktif dalam mengawal kasus ini, karena adanya potensi pengalihan isu kekerasan yang dilakukan aparatur negara ke area tindak pidana yang dilakukan pengunjuk rasa;
Kelima, Negara harus mengevaluasi penggunaan kewenangan aparatur negara untuk melakukan penangkapan dan penahanan, karena melalui pengalaman banyak kasus kewenangan tersebut menjadi alat pesanan para pihak yang anti Hak Asasi Manusia, Penegakan Hukum dan hadirnya institusi penegak hukum yang professional dan dewasa.
Jakarta, 17 Januari 2012
Badan Pengurus Nasional
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia – PBHI
Angger Jati Wijaya
Ketua
0816 680 845