Kedua, deteksi dini yang lekat dengan aktivitas intelejen, dengan tetap mengindahkan aspek-aspek perundang-undangan serta penghormatan atas Hak Asasi Manusia, merupakan landasan untuk mengambil tindakan kepolisian, dengan kriteria terukur, dalam batas-batas toleransi serta sesuai dengan prosedur tetap kepolisian sebagai penjaga ketertiban sipil sekaligus penegak hukum. Sehingga profesionalisme aparat intelejen dan pemahamannya yang selesai atas aspek hukum, HAM dan perundang-undangan merupakan faktor bagi keberhasilan dalam setiap penugasan.
Ketiga, diperlukan pemetaan yang relatif faktual dan sosiologis atas berbagai potensi anarki di tengah dinamika masyarakat majemuk. plural, serta di sana sini masih menunjukkan realitas kesenjangan yang mudah dimobilisasi oleh kepentingan-kepentingan di luar hakekat kebersamaan.
Keempat, kepolisian dituntut untuk segera menyusun dan merumuskan pendekatan baru berhadapan dengan pengelolaan potensi konflik di masyarakat, jauh sebelum potensi tersebut berkembang menjadi kekerasan massa yang meluas dan anarkis.
Kelima, diperlukan terbangunnya mekanisme pengawasan publik terhadap tindakan kepolisian, yang bermuara pada pertanggung jawaban institusi. Lembaga pengawas tindakan kepolisian yang ada, selama ini selain terkesan sekedar mengakomodir tuntutan publik atas hadirnya institusi kepolisian yang profesional, terbuka, tegas dan mandiri, lebih sering melegitimasi tindakan pelanggaran dan atau penyalah gunaan wewenang ke dalam skema oknumisasi.
Tanpa sejumlah hal di atas, maka pembentukan Detasemen Anti Anarki, tidak hanya akan memboroskan anggaran negara. Tetapi juga berpotensi berkembangnya komplikasi wewenang kelembagaan di internal kepolisian. Overlaping dengan kewenangan sub satuan lain di dalam kepolisian. Cenderung memupuk elitisme anggota detasemen dengan seluruh implikasinya. Bahkan dikhawatirkan pembentukan Detasemen Anti Anarki justru membuka ruang bagi tindak kekerasan baru, pelanggaran hukum dan HAM oleh aparat Detasemen atas nama tindakan kepolisian menghadapi kekerasan dan atauy potensi kekerasan massa.
Jakarta, 3 Maret 2011
Badan Pengurus Nasional
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia – PBHI
Angger Jati Wijaya
Ketua