Presiden Jokowi merilis KepPres No. 4/2023 Tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Yang Berat dan InPres No. 2/2023 Tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Yang Berat. Jauh sebelumnya, PBHI telah menegaskan kejanggalan dan pelanggaran pada KepPres No. 17/2022 Tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Yang Berat Masa Lalu. Kebijakan ini menegaskan adanya strategi gimmick dan cuci dosa negara yang justru melanggengkan pelanggaran HAM berat masa lalu.
GIMMICK DAN CUCI DOSA SEJAK SEMULA: PERNYATAAN BERBEDA DENGAN FAKTA
PBHI menyoroti beberapa hal, antara lain, Pertama, tidak transparan dan tidak partisipatif karena tidak melibatkan korban, sehingga tidak mengakomodasi kepentingan keadilan korban secara utuh, berupa pengungkapan kebenaran, ajudikasi, reformasi institusional dan reparasi korban. Dan yang paling mendesak adalah pengungkapan kebenaran atas peristiwa yang terjadi di masa lalu, mengenai siapa pelaku dari instansi mana, apa perbuatannya dan apa alasannya; yang harusnya jadi dasar ajudikasi dan reformasi institusional untuk menghentikan impunitas pelaku serta menjamin tidak ada keberulangan peristiwa, lalu reparasi melalui identifikasi apa dampak dan kerugian bagi korban.
Kedua, kebijakan Keppres No. 17/2022 penuh dengan kebohongan. Kebohongan dimulai dengan penggunaan kata “Penyelesaian”, yang faktanya tidak menyelesaikan apapun, dan diikuti dengan “Non-yudisial” yang tidak dikenal dan konsep dan instrumen HAM manapun. Ditambah, Presiden Jokowi dan Menkopolhukam Mahfud MD awalnya menyatakan ada pengadilan (ajudikasi) lalu kemudian Mahfud MD meralat, tidak mungkin ada pengadilan karena kurang bukti dan saksi karena peristiwa sudah sangat lama.
PELIBATAN PELAKU DAN ASAL INSTANSI PELANGGAR HAM: PENYELESAIAN FIKSI BERBALUT REPARASI
Catatan negatif dari PBHI kian dipertegas oleh paket kebijakan gimmick dan cuci dosa: Keppres No. 4/2023 dan Inpres No. 2/2023.
Keppres No. 4/2023 memandatkan 19 orang Tim dan 46 orang Tim Pelaksana, di mana tidak ada proses seleksi terbuka dan pemeriksaan latar belakang serta kapasitasnya terkait HAM. Dan mirisnya, terjadi konflik kepentingan, karena ada beberapa nama yang terlibat atau Pelaku Pelanggaran HAM Berat yang berasal dari institusi Pelanggar HAM Berat juga (Polri, TNI, BIN, dan lainnya). Tentu ini yang sebenarnya menghalangi penyelesaian di level pengungkapan kebenaran (truth seeking), pengadilan HAM (ajudikasi) dan reformasi institusional. Sebaliknya, kebijakan ini memang berniat jahat untuk menghambat penyelesaian yang sebenarnya karena memasukkan nama dan instansi asal Pelanggar HAM.
Inpres No. 2/2023 mempertegas ketiadaan pengadilan (ajudikasi) dengan menggunakan kata “dugaan” sebelum “pelanggaran HAM Berat” pada bagian tugas untuk Jaksa Agung. Kata “dugaan” tidak ada di pasal atau ayat lainnya, justru langsung menyebutkan “peristiwa pelanggaran HAM Berat..”. Padahal, peran utama Jaksa Agung dalam kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat adalah untuk melakukan penuntutan di hadapan pengadilan HAM (ajudikasi). Artinya, proses pengadilan (ajudikasi) akan tetap ditiadakan.
Ditambah, Bagian Kedua Angka 18 huruf C dan Angka 19 huruf C, Presiden memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk melakukan optimalisasi pendidikan dan pelatihan HAM, padahal persoalan pelanggaran HAM Berat bersifat sistematis dan terstruktur yang artinya ada kesalahan sistem dan struktur institusional di tubuh TNI dan Polri. Misalnya, pendekatan keamanan untuk merespon kebebasan sipil seperti demonstrasi, belum adanya reformasi pengadilan militer, dan lainnya. Artinya, tidak ada reformasi institusional di tubuh instansi asal Pelaku Pelanggar HAM Berat.
Keseluruhan kejanggalan dan pelanggaran di atas kemudian dicuci melalui komponen reparasi korban yang sebenarnya tidak dapat dipenuhi hanya dengan fasilitas dan bantuan ekonomi belaka. Ada kesalahan sistem perundang-undangan yang tidak dapat diubah tanpa putusan pengadilan, apalagi oleh tim berbasis Keppres dan Inpres saja. Misalnya, Korban tragedi genosida tahun 1965, harus ada penggalian jenasah korban, dan untuk menggalinya harus ada basis hukumnya. Terlebih lagi, ada “udang di balik batu” yang mencoba memecah belah sikap dan posisi korban dengan mengedepankan “situasi keterdesakan” sehingga akan terjadi segregasi di antara korban.
Berdasarkan paparan di atas, PBHI menuntut agar:
- Presiden Jokowi mencabut 2 paket kebijakan gimmick dan cuci dosa Keppres 4/2023 dan Inpres 2/2023;
- Presiden Jokowi mengambil kebijakan holistik dan komprehensif untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM Berat masa lalu, dengan merunut pengungkapan kebenaran (truth seeking), pengadilan (ajudikasi), reformasi institusional dan reparasi korban secara utuh;
- Presiden Jokowi untuk memerintahkan Jaksa Agung segera menindaklanjuti Rekomendasi KomnasHAM untuk melakukan penuntutan di Pengadilan HAM;
- Presiden Jokowi untuk melibatkan korban secara penuh dan menyeluruh, tanpa memilah dan memilih pihak-pihak tertentu saja yang berada di lingkaran Istana.
Jakarta, 25 Maret 2023
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)