Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Pemantauan UPR menyesalkan sikap Pemerintah Indonesia atas rekomendasi yang didapatkan dari negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sidang Universal Periodic Review (UPR) Putaran Keempat di Palais de Nations, Jenewa, 09 November 2022 lalu. Disitir dari situs resmi Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB (OHCHR), dari 269 rekomendasi, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk hanya menerima secara penuh (support) 205 rekomendasi dan menolak secara penuh (note) 59 lainnya. Sementara, ada 5 rekomendasi sisanya yang diterima hanya sebagian (partially supported).
UPR merupakan sebuah mekanisme HAM di bawah Dewan HAM PBB di mana setiap empat hingga lima tahun sekali, tiap-tiap negara akan ditinjau situasi HAM di dalam negerinya masing-masing oleh negara-negara anggota PBB yang lain. Sebelum sidang UPR Putaran Keempat pada November 2022 lalu, Indonesia telah tiga kali menghadapi sidang UPR, yakni pada tahun 2007, 2012, dan 2017.
Rekomendasi-rekomendasi yang ditolak oleh Pemerintah Indonesia dalam sidang UPR Putaran Keempat secara garis besar menyoal beberapa isu pelanggaran HAM yang terjadi, seperti pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua, female genital mutilation, isu kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat, pencabutan atau revisi aturan-aturan hukum yang represif (UU ITE, KUHP, dan UU Ormas), hak-hak kelompok rentan (perempuan, anak, LGBTQI+), pencegahan terhadap kejahatan kemanusiaan melalui ratifikasi ICC (Statuta Roma), serta rekomendasi-rekomendasi terkait penghapusan dan/atau moratorium hukuman mati.
Mengenai situasi HAM di Papua, Indonesia mendapatkan 10 rekomendasi. Akan tetapi, hanya 5 rekomendasi yang di-support oleh Pemerintah Indonesia. Rekomendasi-rekomendasi mengenai jaminan atas kebebasan berekspresi dan kebebasan berkumpul serta rekomendasi untuk investigasi dugaan pelanggaran HAM di Papua secara umum diterima, kecuali rekomendasi dari Slovenia yang mengusulkan investigasi atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan. Rekomendasi-rekomendasi yang ditolak adalah mengenai hak penentuan nasib sendiri dengan mekanisme dialog inklusif, serta mengenai kunjungan-kunjungan oleh Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB maupun oleh pengamat independen ke Papua. Padahal sebelumnya pada 2018 Presiden Jokowi berjanji akan mengundang komisioner tinggi HAM PBB ke Papua untuk melihat dan mendengar lebih dekat situasi tentang Papua. Namun janji itu secara resmi dan terbuka diingkari sendiri oleh Pemerintah Indonesia melalui respon terhadap rekomendasi UPR Putaran Keempat ini.
Lebih dari dua puluh rekomendasi mengenai penghapusan dan/atau moratorium hukuman mati, termasuk di dalamnya mengenai ratifikasi Second Optional Protocol ICCPR, seluruhnya ditolak oleh Pemerintah Indonesia. Dalam laporan resmi PBB mengenai sikap Indonesia terhadap
rekomendasi UPR, Pemerintah Indonesia berargumen bahwa hukuman mati akan terus berada dalam hukum positif Indonesia karena itu dianggap sebagai bagian dari kedaulatan Indonesia.
Dalam respons lisan di sidang UPR Putaran Keempat 09 November 2022 silam, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Yasonna Laoly menyatakan bahwa hukuman mati masih dibutuhkan oleh Indonesia karena masih tingginya tingkat kriminalitas terkait narkotika. Argumen ini sudah kepalang usang, mengingat betapa banyak studi yang menyebutkan bahwa pemberlakuan hukuman mati tidak berpengaruh terhadap penurunan tingkat peredaran narkotika. Selain itu, pemberlakuan hukuman mati juga bertentangan dengan asas restorative justice dan pemberlakuan hukuman mati tidak sejalan dengan semangat reintegrasi sosial pemasyarakatan. Dalam kesempatan yang sama, delegasi Pemerintah Indonesia juga bersembunyi di balik dalih bahwa dalam KUHP yang baru disahkan, hukuman mati merupakan hukuman alternatif.
Menyoal KUHP, bersama dengan undang-undang lain seperti UU ITE, UU Ormas, dan UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, terdapat 5 rekomendasi yang mendorong penghapusan maupun revisi pasal-pasal yang dinilai represif dan membatasi ruang sipil. Lebih dari 5 negara merekomendasikan Pemerintah Indonesia untuk mencabut, merevisi, meninjau ataupun mengamandemen aturan-aturan hukum yang mengekang kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berserikat di Indonesia. Ditolaknya rekomendasi-rekomendasi ini menegaskan tidak adanya kemauan negara untuk menjamin hak-hak sipil dan politik setiap orang yang ada di yurisdiksinya, seiring dengan semakin intensnya kriminalisasi terhadap para pembela HAM, seperti Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Hal-hal tersebut semakin mempertegas arah Pemerintah Indonesia yang semakin anti kritik dan beranjak menuju otoritarianisme, meskipun tanpa malu-malu, Pemerintah Indonesia selalu mengaku sebagai negara yang menjunjung tinggi HAM dan demokrasi.
Penyempitan ruang sipil yang juga menyasar kelompok rentan seperti kelompok minoritas gender dan orientasi seksual (LGBTQI+) juga menjadi sorotan dalam sidang UPR Putaran Keempat ini. Pemerintah Indonesia mendapatkan lebih dari 5 rekomendasi mengenai perlindungan dan penjaminan atas hak-hak LGBTQI+, di mana 3 di antaranya merekomendasikan Pemerintah Indonesia untuk mencabut, merevisi, maupun mengamandemen aturan-aturan hukum yang diskriminatif terhadap kelompok LGBTQI+. Ketiga rekomendasi tersebut ditolak dengan alasan bahwa tidak ada satu pun aturan hukum nasional yang mengatur secara spesifik mengenai kelompok LGBTQI+. Padahal, dalam laporan-laporan organisasi masyarakat sipil, disebutkan bahwa di dalam KUHP terbaru mengenai Living Law sangat potensial melegitimasi diskriminasi atas kelompok LGBTQI+. Selain itu, saat ini begitu banyak aturan hukum daerah yang sangat diskriminatif terhadap kelompok LGBTQI+.
Saat ini, tercatat ada 45 regulasi anti-LGBTQI+ di Indonesia. Perda-perda ini telah memicu daerah lain untuk membuat raperda serupa. Selama tahun 2022, raperda diskriminatif itu muncul di Garut, Bandung, Makassar dan Medan. Bahkan di Makassar, raperda anti-LGBTQI+ sudah masuk ke dalam prioritas pembahasan di tahun 2023. Masih terkait dengan Living Law, perda dan raperda ini sangat mengkhawatirkan. Terutama mendekati tahun politik, isu LGBTQI+ sering kali dipakai untuk mendulang suara. Ini berpotensi memperburuk diskriminasi dan persekusi terhadap kelompok LGBTQI+
Keengganan untuk menjamin penikmatan hak-hak kelompok rentan juga tercermin dari penolakan Pemerintah untuk menghapuskan praktik female genital mutilation yang sangat berisiko bagi perempuan. Keengganan ini juga dipertegas dengan ditolaknya rekomendasi dari Namibia untuk meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (OP-CEDAW). Protokol Opsional ini merupakan prosedur tambahan dalam pelaksanaan konvensi, yakni Prosedur Investigasi dan Prosedur Komunikasi Individu. Selain itu, Pemerintah juga menolak rekomendasi-rekomendasi untuk turun tangan menghentikan praktik kawin paksa maupun pernikahan di bawah umur yang sangat rentan bagi anak-anak.
Berdasarkan sikap yang diambil Pemerintah Indonesia atas rekomendasi-rekomendasi UPR tersebut, kami menilai bahwa pemerintah memilah fakta tanpa dasar dan suka-suka saja serta tidak sesuai dengan prinsip-prinsip HAM. Pemerintah mengabaikan berbagai kajian dan temuan yang dilaporkan oleh masyarakat sipil mengenai situasi pelanggaran HAM di Papua, pentingnya perlindungan terhadap kelompok-kelompok rentan, urgensi untuk menghapuskan hukuman mati, dan penyempitan ruang sipil serta perampasan ruang hidup di Indonesia. Oleh sebab itu, komitmen pemerintah Indonesia terhadap HAM sangat patut dipertanyakan.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemantauan UPR: HRWG, YLBHI, PBHI, Arus Pelangi, Kalyanamitra, Imparsial, YAPPIKA-ActionAid, LBH Pers, IKOHI, LBH Jakarta, AJI Indonesia, SKPKC Papua, Migrant CARE, GAYa Nusantara
Indonesia, 23 Maret 2023
Narahubung:
Daniel Awigra, Direktur Eksekutif HRWG (+62817-6921-757)
Muhammad Isnur, Ketua YLBHI (+62815-1001-4395)
Julius Ibrani, Ketua PBHI (+62813-1496-9726)
Ardi Manto Adiputra, Wakil Direktur Imparsial (+62812-6194-4069)
Listyowati, Ketua Kalyanamitra (+62813-8016-4654)