Jakarta (25/1), Tim Advokasi Untuk Kemanusiaan bersama keluarga korban Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) melakukan audiensi ke Komisi IX DPR-RI.
Tim Advokasi Untuk Kemanusiaan mendorong urgensi pembentukan Panitia Khusus (Pansus) DPR RI untuk mengungkap keterbukaan dan memastikan penyelesaian tragedi obat beracun yang merenggut 200 nyawa dan 134 kondisi fisik anak akibat kelalaian dan kesalahan yang dilakukan oleh Kemenkes RI, BPOM, dan Perusahaan Farmasi.
Tim Advokasi menilai setidaknya ada lima (5) poin penting yang mendasari pembentukan Pansus oleh DPR RI, yakni:
- Tidak ada kebijakan BPOM terkait standar pengujian EG dan DEG
Sejak kasus gagal ginjal ditemukan pada Januari 2022 hingga kini BPOM belum juga membuat standarisasi pengujian Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG). Padahal UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan BPOM No. 30 tahun 2017, dan lainnya, memandatkan BPOM untuk menyusun kebijakan pengujian dan skema registrasi termasuk pengawasan distribusi dan konsumsinya (pra dan post produksi). BPOM tidak menganggap ratusan anak yang meninggal dan sakit sebagai tragedi mengerikan sehingga tidak ada langkah konkret perbaikan sistem oleh BPOM.
- Ada Penyakit Penyerta Gagal Ginjal, Tidak Ada Identifikasi Apalagi Pertanggungjawaban
Juru Bicara Kemenkes, Mohammad Syahril dalam konferensi pers tanggal 25 Oktober 2022, menyatakan bahwa pembiayaan pasien Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) di Indonesia dapat melalui dua skema, yakni pembayaran umum dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Pertama, BPJS adalah iuran yang dibayar oleh korban setiap bulan jadi bukan bantuan yang diberikan secara cuma-cuma oleh Pemerintah. Kedua, skema pembiayaan yang disampaikan Kementerian Kesehatan hanya untuk gagal ginjal, belum termasuk penyakit penyerta akibat GGAPA.
Artinya tidak ada pertanggungjawaban negera
- Pedoman tentang Cara Pembuatan Abat yang Baik (CPOB) Belum Diperbaiki
Pedoman CPOB tahun 2018 mengacu pada PIC/s GMP Guideline doc. PE 009-14, July 2018 serta WHO TRS 981 Tahun 2012 (Annex 2); WHO TRS 986 Tahun 2013 (Annex 5); WHO TRS 992 Tahun 2014 (Annex 3 dan Annex 5); WHO TRS 996 (Annex 5) Tahun 2015; WHO TRS 999 Tahun 2016 (Annex 2).
Padahal sudah terbit Pharmaceutical Inspection Co-Operation Scheme PE 009-16 (Annexes) 1 Februari 2022. Seharusnya BPOM memperbaiki Pedoman CPOB sesuai kondisi terkini.
- Kandungan EG dan DEG adalah Senyawa Yang Pasti Ada Pada Obat Sirup
Pada tanggal 12 Oktober 2022, BPOM menuliskan dalam laman websitenya bahwa EG dan DEG dapat ditemukan sebagai cemaran pada gliserin atau propilen glikol yang digunakan sebagai zat pelarut tambahan, sehingga BPOM telah menetapkan batas maksimal EG dan DEG pada kedua bahan tambahan tersebut sesuai standar internasional.
Artinya selama ini EG dan DEG digunakan perusahaan farmasi
Pernyataan ini bertentangan dengan pernyataan BPOM sebelumnya yang menyatakan bahwa belum ada standarisasi EG dan DEG di tingkat nasional maupun internasional.
- Pemerintah Harus Segera Menetapkan Tragedi Obat Beracun Sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB)
Per Desember 2022, tercatat 200 anak meninggal dunia dan 134 anak dalam kondisi kritis akibat gagal ginjal akut. Sehingga kriteria angka kematian kasus penyakit (Case Fatality Rate) dalam kurun satu waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% telah terpenuhi.
Tim Advokasi Untuk Kemanusiaan bersama keluarga korban GGAPA:
- Mendesak DPR RI untuk membentuk Panitia Khusus (pansus) guna mengungkap dan menyelesaikan tragedI obat beracun yang telah menyebabkan 324 anak menjadi korban;
- Meminta DPR RI untuk mendesak Kementerian Kesehatan agar segera menetapkan Tragedi Obat Beracun sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
Tim Advokasi Untuk Kemanusiaan (TANDUK)