Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan
Menyikapi Tenggelamnya Kapal Selam Nanggala
Tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala 402 merupakan peristiwa yang tragis dan memprihatinkan kita semua. Kita patut sedih dan berduka atas peristiwa itu. Para prajurit TNI gugur ditengah proses latihan yang sedang dilakukan. Di tengah keprihatinan dan rasa duka itu, tentu peristiwa itu perlu dilihat dan dinilai dalam gambaran yang lebih besar tentang masalah modernisasi alutsista yang terjadi di Indoenesia.
Peristiwa kecelakaan alutsista di Indonesia bukanlah yang pertama kali terjadi. Sudah beberapa kali peristiwa kecelakaan terjadi, mulai dari jatuhnya pesawat tempur F-16 dan Hawk, pesawat angkut Hercules, helikopter MI-17, tenggelamnya kapal angkut TNI, hingga kemarin kita menyaksikan tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala 402. Berbagai faktor tentu bisa menjadi penyebab terjadinya kecelakaan mulai dari faktor human error, permasalahan mesin, faktor alam dan factor lainnya.
Namun demikian, satu hal penting yang selalu luput diperhatikan dari setiap kecelakan alutsista adalah soal tata kelola perawatan dan pemeliharaan alutsista Indonesia. Padahal sangat mungkin masalah carut marutnya tata kelola alutsista di Indonesia dapat memperbesar risiko terjadinya berbagai kecelakaan. Gelapnya tata kelola pengadaan, perawatan dan reparasi alutsista Indonesia pada akhirnya juga akan menjadikan prajurit TNI rentan menjadi korban, bahkan hingga meninggal dunia.
Kami menilai bahwa pengadaan alutsista sebagai bagian dari upaya modernisasi dan penguatan pertahanan Indonesia memang sangat penting dan diperlukan. Meski demikian, upaya tersebut harus dijalankan secara transparan dan akuntabel. Dalam praktiknya, beberapa kasus pengadaan alutsista selama ini bukan hanya menyimpang dari kebijakan pembangunan postur pertahanan, tetapi juga sarat dengan dugaan terjadinya korupsi.
Dalam sejumlah pengadaan, misalnya, beberapa alutsista yang dibeli berada di bawah standar dan kadangkala tidak sesuai dengan kebutuhan. Pembelian alutsista bekas juga menjadi persoalan karena memiliki potensi bermasalah yang lebih besar, tidak hanya akan membebani anggaran untuk perawatan, tetapi juga akan berisiko terjadi kecelakaan yang mengancam keselamatan dan keamanan prajurit.
Kami menilai penggunaan alutsista bekas dan alutsista tua telah menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya beberapa kecelakaan. Kondisi alutsista yang berada di bawah standar kesiapan akan meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan. Sementara itu, proses perawatan / retrovit yang dilakukan menjadi permasalahan tersendiri dalam kesiapan alutsista. Semisal, dalam kasus kapal selam KRI Nanggala 402, proses retrovit (overhaul) yang dilakukan di Korea Selatan tentu patut dipertanyakan. Mengapa pilihan overhaul itu dilakukan di Korea Selatan dan bukan di Jerman? Padahal, kapal selam ini di produksi oleh pabrikan Howaldtswerke-Deutsche Werft di Jerman bukan oleh Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering, Korea Selatan. Kami mendesak agar pemerintah dan DPR mengevaluasi dan mengaudit semua proses kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan Korea Selatan mulai dari kapal selam, kapal perang, pesawat tempur KFX/ IFX (KF-21Boramae) dan lainnya.
Selain itu, kendati ketentuan tentang pengadaan alutsista telah mensyaratkan untuk tidak melibatkan pihak ketiga (broker) melainkan langsung dilakukan dalam mekanisme government to government, dalam kenyataannya sejumlah pengadaan kerap diwarnai keterlibatan pihak ketiga. Dalam beberapa kasus, keterlibatan mereka kadangkala berimplikasi terhadap dugaan terjadinya mark-up (korupsi) di dalam pengadaan alutsista yang merugikan keuangan negara.
Persoalan transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan alutsista di Kementerian Pertahanan memang menjadi persoalan yang serius. Ketiadaan peran dan kewenangan lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang turut memonitor dan mengawasi persoalan pengadaan alutsista membuat proses pengadaannya di Kementerian Pertahanan rawan terhadap terjadinya penyimpangan atau korupsi. Alhasil, transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan alutsista menjadi bermasalah. Padahal, anggaran belanja negara (APBN) untuk pengadaan alutsista di Indonesia menggunakan dana yang sangat besar. Diketahui anggaran pertahanan dalam APBN 2021 terbesar kedua dari seluruh kementerian, dengan total anggaran Rp137 triliun atau 16 persen dari total APBN.
Kami mendesak dalam upaya mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan alutsista, pemerintah juga harus mendorong peran lembaga-lembaga pengawas independen, seperti KPK untuk melakukan pengawasan dan menginvestigasi penggunaan anggaran pertahanan, atau lebih khususnya dalam pengadaan alutsista. KPK bisa terlibat dalam pengawasan dan penyelidikan dugaan penyimpangan pengadaan alutsista dengan dasar asas lex specialis derogat lex generalis.
Modernisasi alutista merupakan sebuah kebutuhan, namun penguatan alutsista itu harus berjalan secara transparan dan akuntabel. Untuk tujuan itu, maka langkah pertama yang perlu dilakukan adalah segera melakukan reformasi peradilan militer dengan merevisi UU 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dengan langkah itu, kepastian akan transparansi dan akuntabilitas dalam memodernisasi alutsista bisa benar-benar terwujud. Tanpa adanya reformasi peradilan militer, modernisasi alutsista akan selalu dibayang-bayangi dugaan praktik korupsi.
Kami mendesak agar kementerian pertahanan dan TNI untuk fokus dalam melakukan perencanaan pertahanan. Sudah saatnya dua hal penting yang perlu dilakukan adalah memodernisasi alutsista dan meningkatkan profesionalisme prajurit dengan memenuhi kesejahteran prajurit (well paid), peningkatan pelatihan (well train), perbaikan pendidikan (well educated) dan penguatan alutsista (well equipped).
Kami mendesak agar seluruh program di kementerian pertahanan yang tidak memperkuat komponen utamanya sepantasnya ditiadakan, seperti rencana pembentukan komponen cadangan, pelibatan militer dalam program cetak sawah dan program-program lainnya yang tidak relevan dengan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara. Sudah saatnya TNI dan kementerian pertahanan fokus untuk memperkuat komponen utamanya sebagai alat pertahanan negara.
Koalisi masyarakat sipil :
- Mendesak Presiden membentuk tim independen untuk melakukan audit independen terhadap seluruh alutsista di Indonesia, khususnya alutsista yang sudah tua dengan melibatkan akademisi dan masyarakat sipil.
- Mendesak pemerintah tidak menggunakan alutsista yang sudah tua dan sudah berumur 20 tahun ke atas sampai hasil audit selesai dilakukan.
- Mendesak pemerintah mengevaluasi seluruh kerja sama pengadaan alutsista selama ini, baik yang terjadi pada masa periode pemerintahan sekarang atau periode pemerintahan sebelumnya.
- Mendesak pemerintah untuk menhapus pihak ketiga (broker) dalam perngaadaan alutsista, karena memiliki risiko masalah yang tinggi pada kesiapan alutsista. Sudah seharusnya pengadaan alutsista dilakukan dengan mekanisme government to government.
- Modernisasi alutsista perlu memperkuat alutsista dengan memprioritaskan pembelian alutsista baru dan bukan alutsista bekas.
Centra Initiative, Imparsial, Elsam, LBH Pers, ICW, LBHM, LBH Jakarta, KontraS, ICJR, PILNET Indonesia, HRWG, Walhi Eknas, PBHI Amnesty Internasional Indonesia, Public Virtue, SETARA Institute