PERNYATAAN BERSAMA (JOINT STATEMENT)
ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL PEMERHATI ISU PENGUNGSI DAN PENCARI SUAKA DI INDONESIA
(17 November 2023) Janji kemanusiaan diabaikan. Penolakan berlabuh terhadap satu kapal yang mengangkut sekitar 249 orang Pengungsi Rohingya (belum bisa dikonfirmasi jumlah tepatnya) terjadi di Desa Pulo Pineung Meunasah Dua, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen pada dini hari, 16 November 2023. Implementasi Peraturan Presiden tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri (Perpres 125/2016) kembali dipertanyakan.
Kapal sempat berlabuh dan Pengungsi Rohingya mendarat saat di Desa Pulo Pineung Meunasah Dua, tetapi diminta untuk kembali berlayar. Padahal kondisi kapal dan Pengungsi Rohingya yang sebagian besar terdiri dari anak-anak dan perempuan sangat memprihatinkan, terdapat pula yang dalam keadaan sakit, diperparah dengan kondisi dan bahaya yang mereka hadapi selama perjalanan yang ditengarai dari Bangladesh.
Kapal tersebut ditarik ke laut dengan kondisi satu orang yang sakit tetap tinggal di daratan dan empat orang lainnya memutuskan melompat dan berenang ke daratan, sementara sisanya hanya mampu memandang dari atas kapal. Melalui bantuan nelayan Aceh, warga yang tak tega memutuskan bahu-membahu memberikan makanan ke kapal yang berada tak jauh dari daratan tersebut. Ironisnya, kapal tetap diminta pergi dan perjalanan bertaruh nyawa kembali berlanjut.
Ketentuan hukum kebiasaan internasional menyebutkan mengenai prinsip non-refoulement, di mana seseorang termasuk pengungsi tidak boleh dikembalikan atau ditolak di negara tempat dia
mencari perlindungan. Pembiaran terhadap penolakan ini akan menjadi catatan buruk dalam penghormatan terhadap prinsip ini.
Pada sore harinya, kapal tersebut berlabuh di Desa Ulee Madon, Kecamatan Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara. Dengan jalur darat, lokasi ini tak lebih dari 45 menit jaraknya dari lokasi sebelumnya dengan kendaraan bermotor. Kapal dalam keadaan bocor dan membuat kondisi Pengungsi Rohingya semakin memprihatinkan. Warga yang iba memberikan pakaian layak pakai karena beberapa pengungsi mengalami hipotermia.
Kapal justru diperbaiki. Air yang masuk ke kapal dikeluarkan. Bahan bakar kapal diisi ke tangki. Pengungsi dipersiapkan untuk dikembalikan ke atas kapal dan diminta kembali untuk pergi dari daratan! Pola yang sama dengan di Bireuen terjadi dan terlihat sangat terkoordinasi. Tentunya ini bukan koordinasi a la Perpres yang memiliki semangat kemanusiaan sesuai janji Indonesia yang kerap disampaikan terkait pengungsi di forum-forum global termasuk G-20, ASEAN, maupun Global Refugee Forum, yang akan diadakan pada Desember 2023. Indonesia barangkali perlu menjawab mengenai kejadian hari ini. Terlebih diperpanjangnya posisi Indonesia sebagai Anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
Kondisi ini kembali lagi mengingatkan kita pada Perpres 125/2016. Menurut Peraturan Presiden ini, pengungsi yang ditemukan di daratan harus diamankan oleh kepolisian, sementara jika mereka ditemukan di perairan, terutama dalam kondisi kedaruratan, maka tanggung jawab koordinasi ada pada Basarnas. Pasal-pasal berikutnya mewajibkan kepolisian untuk menyerahkan pengungsi yang ditemukan kepada instansi keimigrasian dan pemerintah daerah yang memiliki kewajiban menentukan tempat penampungannya. Peraturan Presiden ini berlaku nasional, tak terkecuali Aceh. Peraturan Presiden ini memberi amanat kepemimpinan pada Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan untuk memastikan tahap-tahap tersebut dipenuhi. Lagi-lagi Peraturan Presiden tak diindahkan dalam kejadian ini.
Argumentasi usang mengenai Indonesia yang tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 masih kerap didengungkan. Padahal, Indonesia memiliki beragam instrumen HAM lain, prinsip non-refoulement, ketentuan-ketentuan penyelamatan nyawa pada hukum laut atau UNCLOS, ketentuan-ketentuan pada Bali Process dan konvensi-konvensi HAM yang melindungi perempuan, anak-anak, kelompok disabilitas, dsb. Belum lagi mengenai pernyataan-pernyataan internasional yang disampaikan.
Kapal ini merupakan kapal ketiga setelah dua kapal sebelumnya berturut-turut berlabuh di Kabupaten Pidie pada tanggal 14 dan 15 November 2023. Tanggung jawab bersama terjadi di sana. Pemerintah daerah, lembaga internasional, lembaga kemanusiaan dan warga berbondong- bondong menolong. Namun, di saat fokus penyelamatan berada di Pidie, kejadian di Bireuen dan Aceh Utara pada tanggal 16 November 2023 ini begitu memprihatinkan. Apalagi kehadiran kapal- kapal ini mungkin bukan untuk terakhir kalinya.
Kondisi Myanmar tak kunjung membaik, meskipun Indonesia sudah berkontribusi dengan lima poin konsensusnya saat menjadi ketua ASEAN. Kondisi Bangladesh, tempat pengungsi
Rohingya mengungsi juga semakin memprihatinkan dengan kondisi kamp yang penuh sesak, dengan kekerasan, kebakaran, dan penurunan bantuan di sana. Tak pelak pengungsi Rohingya pun akan menempuh perjalanan membahayakan melalui penyelundup manusia untuk mendapatkan perlindungan, termasuk berkumpul dengan keluarganya yang mungkin ada di Indonesia, Malaysia, atau di negara lainnya. Jika ada opsi lain mengungsi yang aman selain menggunakan penyelundup manusia, barangkali opsi itu akan diambil. Sayangnya, opsi ini merupakan satu-satunya jalan. Tak jarang yang meninggal dan eksploitasi dalam perjalanan. Sebagai negara yang berkomitmen melindungi korban perdagangan orang, kita sering lupa bahwa para pengungsi ini berpotensi atau bahkan mungkin sudah menjadi korban.
Pernyataan Bersama ini dibuat oleh jaringan lembaga kemanusiaan pada level lokal dan nasional dengan penuh keprihatinan. Pernyataan Bersama ini merupakan seruan kemanusiaan bagi segenap warga Indonesia dan pemerintah di berbagai level untuk kembali menghormati Perpres dan melaksanakan pernyataan-pernyataan internasional yang telah dibuat.
Kondisi di Bireuen dan Aceh Utara kembali mengusik hati nurani kita. Kita mungkin harus mengingat kembali, masyarakat kita (Aceh) merupakan masyarakat yang terbuka. Kondisi di Bireuen dan Aceh Utara kembali mengusik nilai-nilai islami dan adat Aceh tentang peumulia jamee (pemuliaan tamu). Kondisi ini perlu mendapatkan perhatian segera dengan pengungsi perlu diselamatkan. Karena itu, kami jaringan lembaga kemanusiaan dan hak asasi manusia menyerukan hal-hal berikut ini:
- Mendukung penerapan dan pemenuhan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia terutama pada penghormatan Prinsip Non Refoulement dalam merespons pengungsi dengan menyelamatkan kapal pengungsi, tidak meminta pengungsi naik kembali ke kapal bahkan mendorong kembali kapal tersebut kembali ke laut karena akan mengingkari tanggung jawab dalam penghormatan prinsip non-refoulement dan respons kemanusiaan.
- Mengimplementasikan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri untuk membawa pengungsi Rohingya ke penampungan. Ada beragam tanggung jawab termasuk Kepolisian dan Basarnas pada saat penemuan, Imigrasi dan Pemerintah Daerah utamanya di Aceh Utara. Hal ini juga termasuk Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan yang memiliki tanggung jawab koordinasi dan menjaga marwah Perpres.
- Mendesak Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan untuk meminta Satgas Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri segera mengambil tindakan ketika koordinasi tidak berjalan maksimal. Hal ini utamanya dengan Pemerintah Daerah termasuk Satgas Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri di level provinsi dan lembaga lainnya dalam memberikan keputusan mengenai penemuan dan penampungan.
- Mengajak warga masyarakat, yang juga disebut dalam Perpres pada bagian penemuan untuk berkoordinasi dan mendesak pemerintah untuk menjalankan tanggung jawabnya.
- Mengapresiasi dan mengajak warga masyarakat di Bireuen dan di Aceh Utara menunjukkan kepada publik bahwa nilai-nilai adat Aceh masih dipegang dengan wujud memberi bantuan makan dan pakaian.
- Menetapkan dan memfasilitasi lokasi penampungan sementara yang ditentukan Pemerintah Daerah, utamanya Aceh Utara dan Bireuen.
7. Mendorong lembaga internasional dan lembaga kemanusiaan untuk berkoordinasi dengan pemerintah sebagai bagian dari shared responsibility / tanggung jawab bersama terkait respon-respon kemanusiaan yang akan dilakukan saat pendaratan dilakukan
8. Mengapresiasi peran serta warga masyarakat, lembaga kemanusiaan, pemerintah daerah di lokasi-lokasi yang turut terlibat dalam penanganan pengungsi di wilayah Aceh, di tengah absennya langkah kongkrit di Bireuen dan Aceh Utara.
9. Mendorong inisiatif dan koordinasi bersama terkait upaya identifikasi dan perlindungan kelompok-kelompok rentan di kapal termasuk kelompok orang sakit, anak-anak, perempuan hamil, korban kekerasan, disabilitas, dan kelompok rentan lainnya.
ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL PEMERHATI ISU PENGUNGSI DAN PENCARI SUAKA DI INDONESIA
- KontraS Aceh
- SUAKA
- KontraS
- RDI Urban Refugee Research Group (RDI-UREF)
- Yayasan Jesuit Refugee Service Indonesia (JRS Indonesia))
- Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI Nasional)
- Dompet Dhuafa
- Sahabat Insan
- Human Rights Working Group (HRWG)
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh
- Sandya Institute
Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta