Jakarta, Rabu, 24 Januari 2024, Solidaritas Masyarakat Sipil yang terdiri dari beberapa lembaga mendatangi Mahkamah Agung guna menyerahkan surat permohonan penolakan kasasi yang diajukan oleh Penuntut Umum dalam kasus kriminalisasi Fatia-Haris. Sebelumnya pada 8 Januari lalu, Majelis Hakim pemeriksa perkara dengan nomor 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim atas nama Haris Azhar dan perkara dengan nomor 203/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim atas nama Fatia Maulidiyanti menyatakan keduanya dinyatakan tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menjelaskan bahwasanya penggunaan kata “Lord” bukanlah sebuah bentuk penghinaan. Lebih lanjut, kata Lord tersebut tidak ditujukan terhadap sosok pribadi Luhut melainkan kepada perannya sebagai seorang Menteri. Selanjutnya, dalam persidangan Luhut mengakui bahwa dirinya adalah pemegang saham mayoritas dari perusahaan PT. Toba Sejahtra, yang selanjutnya perusahaan ini memiliki anak perusahaan PT. Tobacom Del Mandiri yang memiliki kerjasama bisnis dengan West Wits Mining di Darewo Project sehingga Majelis Hakim menyatakan bahwa Luhut merupakan Beneficial Owner. Sehingga dengan fakta ini, frasa “jadi Luhut bisa dibilang bermain di dalam pertambangan-pertambangan yang terjadi di Papua hari ini” merupakan fakta yang tidak terhindarkan.
Ambrosius Mulait selaku perwakilan dari Pusaka Bentala Rakyat menyampaikan, “berkaca dari kasus kriminalisasi Fatia-Haris, negara seharusnya dapat mengapresiasi partisipasi masyarakat yang menyampaikan kritikan terhadap para pejabat publik serta situasi yang terjadi di Papua saat ini. Dari kritikan tersebut, seharusnya Pemerintahan Jokowi saat ini dapat mengevaluasi atas kinerja bawahannya”. Aldeta selaku perwakilan dari PBHI menyampaikan, “penting rasanya untuk kita mendorong Mahkamah Agung untuk menolak permohonan kasasi yang diajukan Penuntut Umum. Selama ini telah banyak kasus-kasus kriminalisasi kepada mereka yang berani untuk bersuara menyampaikan pendapat, ataupun kritikan terhadap negara khususnya berkaitan dengan isu Papua. Sehingga penting rasanya untuk kita mendorong Mahkamah Agung agar menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Penuntut Umum. Diharapkan agar kedepannya kasus kriminalisasi seperti ini tidak menimbulkan korban lainnya”.
Lebih jauh, bila kita kembali menelaah keseluruhan bukti dan pertimbangan yang Majelis Hakim berikan dalam putusannya maka dapat kita simpulkan jika vonis bebas yang diberikan kepada Fatia dan Haris merupakan vonis bebas murni. Sehingga seyogyanya putusan ini tidak dapat dikasasi atas alasan hak asasi manusia. Perlu kembali kami tekankan disini, bahwasanya kebebasan berekspresi khususnya kritikan seperti yang disampaikan oleh Fatia dan Haris merupakan hak yang dilindungi oleh undang-undang, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD1945.
Kami berharap agar kasus dan putusan ini dapat menjadi sebuah simbol ataupun contoh bagi penegakan hukum berkaitan dengan kasus-kasus UU ITE. Mengingat kasus Fatia dan Haris merupakan satu dari sekian banyaknya kasus kriminalisasi yang menyerang nalar kritis warga negara yang dilindungi oleh undang-undang.
Jakarta, 24 Januari 2024
Koalisi Masyarakat Sipil
- Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI);
- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI);
- Indonesia Memanggil Lima Tujuh (IM57+ Institute);
- LPM Journo Liberta;
- Avaa Papua;
- SKPKC Fransiska Papua;
- Kowaki Tanah Papua;
- Yayasan iWaTaLi Papua;
- Bem Fisip Universitas Padjadjaran;
- Pusaka Bentala Rakyat;
- Constitutional Law Society FH UGM.