Bermula dari tragedi kekerasan yang dilakukan oleh MDS terhadap DO hingga viral unggahan flexing harta kekayaan yang tidak wajar dari penyelenggara negara, Rafael Alun Trisambodo (Pegawai Pajak Kemenkeu RI), berlanjut pada viralnya unggahan harta kekayaan tidak wajar dari penyelenggara negara lain beserta anggota keluarganya. Sebut saja, Dirjen Pajak, Suryo Pratomo dengan moge-nya, mantan pegawai Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto, lalu Kepala Bea Cukai Andhi Pramono, dan banyak lagi.
Kesemua penyelenggara negara tersebut kemudian diperiksa Kementerian Keuangan dan juga KPK untuk ditelisik asal usul harta kekayaannya yang tidak wajar apabila disandingkan dengan pendapatan resmi sebagai PNS/ASN dan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang disetor ke KPK.
LHKPN: Sebatas Kertas, Pengawasan Amblas, Korupsi Masih Bebas
Sejak berlaku di 2009, LHKPN hanya instrumen untuk mencatat harta kekayaan penyelenggara negara yang wajib lapor (PN/WL), yang dibuat dan disetor secara mandiri oleh si penyelenggara negara (Keputusan KPK No. 2 Tahun 2020). Mekanisme ini memudahkan penyelenggara negara untuk mengisi LHKPN secara tidak jujur di 2 titik: mengisi secara tidak benar, atau mengisi secara benar tapi tidak seluruh harta kekayaannya.
Bahkan penyelenggara negara diberikan kebebasan untuk memilih sendiri antara nilai perolehan atau nilai valuasi saat ini ketika melaporkan nilai hartanya. Mekanisme ini diperburuk dengan ketiadaan verifikasi administrasi dan faktual dari LHKPN yang disetorkan. Hanya sebatas catatan belaka, oleh sebab itu, sanksi atas pelanggaran terhadap LHKPN sebatas sanksi administratif saja.
Akibatnya, tidak ada pengawasan korupsi oleh penyelenggara negara melalui perolehan harta kekayaan. Tidak heran, terdapat 70,350 yang belum melaporkan harta kekayaannya menjelang Maret 2023, dan yang paling banyak mangkir adalah legislator di DPR-RI, yakni sebanyak 48% dari 18,648 orang.
Padahal, mandat dari Konvensi Anti-Korupsi (UNCAC) di Pasal 20, adalah mendorong ketentuan kriminalisasi terhadap perolehan harta kekayaan yang tidak wajar, yakni “Dengan tunduk pada konstitusi dan prinsip-prinsip dasar sistem hukumnya, setiap negara harus mempertimbangkan untuk mengadopsi aturan legislatif dan aturan lainnya yang dibutuhkan untuk mengatur sebagai tindakan kriminal, ketika dilakukan secara sengaja, illicit enrichment (peningkatan kekayaan pejabat publik secara tidak sah), yakni, suatu peningkatan yang signifikan atas aset seorang pejabat publik yang tidak dapat dijelaskannya dalam kaitannya dengan pemasukan sahnya.”
Revisi UU KPK versi Jokowi: Pemberantasnya Dibasmi, Korupsi Terus Reproduksi
Peningkatan kekayaan pejabat publik secara tidak sah belum dimasukkan sebagai tindak pidana (Kriminalisasi) di Indonesia, sehingga, ketika jumlah kekayaan yang dilaporkan tidak sesuai dengan profil penyelenggara negara, maka tidak bisa dilakukan pemidanaan sebelum diketahui pidana asalnya. Dengan kata lain, bahkan ketika LHKPN sudah menunjukkan adanya peningkatan kekayaan yang tidak sah, pejabat yang bersangkutan tetap tidak dapat dipidana. Kondisi ini menyimpulkan bahwa LHKPN sejatinya tidak memiliki kekuatan apapun dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Ketiadaan ketentuan kunci untuk mengawasi dan menindak penyelenggara yang korupsi melalui perolehan harta kekayaan yang tidak wajar, tentu berdampak kecilnya harapan pemberantasan korupsi ke depan, yang artinya rakyat pembayar pajak akan terus dirugikan. Korupsi pun akan terus ber-reproduksi.
Praktik penindakan terhadap penyelenggara negara yang berharta tidak wajar lantas hanya berbasis dari dorongan masyarakat pasca viralnya unggahan flexing/pamer harta di media sosial. Di saat pemerintahan yang korup dan aparat penegak hukum yang loyo, maka satu-satunya harapan untuk pemberantasan korupsi adalah amarah dari rakyat sebagai korban. Maka penting untuk terus memperhatikan dan mempublikasikan unggahan flexing/pamer harta dari penyelenggara negara atau keluarganya hingga viral. Masyarakat tidak perlu khawatir karena itu bagian dari kepentingan publik.
PBHI menilai situasi korupsi oleh penyelenggara negara kian kronis, hal ini juga menimbulkan gap terhadap masyarakat luas yang belum pulih secara ekonomi akibat pandemi, dan bisa berujung pada gesekan sosial. Secara sederhana, gap tergambarkan dari ungkapan “Pembayar Pajak Hidup Sulit, Penarik Pajak Hidup Mewah”.
Oleh sebab itu PBHI mendesak Presiden Jokowi dan DPR RI untuk:
- Membentuk ketentuan pemidanaan delik Illicit Enrichment (peningkatan kekayaan pejabat publik secara tidak sah) sesuai dengan rekomendasi Pasal 20 UNCAC, baik melalui Revisi UU KPK maupun ketentuan perundang-undangan teknis lainnya;
- Mendesak perubahan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme untuk mengkriminalisasi penyelenggara negara wajib lapor yang tidak melaporkan harta kekayaannya melalui ketentuan pemidanaan delik Illicit Enrichment (peningkatan kekayaan pejabat publik secara tidak sah) sesuai dengan rekomendasi Pasal 20 UNCAC.
Jakarta, 25 Maret 2023
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)