Rilis Pers
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
“Kerangkeng Manusia Langkat: Menghukum Eksekutor, Membebaskan Aktor Intelektual, Menghapus Hak Korban atas Pemulihan”
Vonis bebas terhadap TRP, pelaku intelektual dalam tragedi Kerangkeng Manusia Langkat, yang sebelumnya dituntut 14 tahun penjara dan restitusi sebesar Rp2,3 miliar untuk 11 korban berdasar perhitungan LPSK, berbanding terbalik dengan TRP yang dibebaskan, 4 eksekutor kasus Langkat dijatuhi hukuman 1 tahun 7 bulan penjara pada 30 November 2022. Hal ini sejalan dengan temuan riset PBHI bahwa pola penyelesaian kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Indonesia hanya berfokus pada eksekutor.
Kasus Kerangkeng Manusia Langkat terbongkar setelah Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Langkat, TRP, pada 9 Januari 2022. Operasi tersebut mengungkap tragedi kerangkeng manusia di perkebunan sawit milik TRP. Menurut laporan Komnas HAM, terdapat 57 korban yang ditemukan, termasuk dua pelajar SMA. Investigasi yang dilakukan oleh Tim Advokasi Penegakan Hak Asasi Manusia (TAP-HAM), yang terdiri atas PBHI, KontraS, dan KontraS Sumatera Utara, mengungkap bahwa para korban berasal dari keluarga miskin yang hak-haknya tidak terpenuhi. Selama dalam kerangkeng, korban mengalami penyiksaan, penganiayaan, kerja paksa tanpa upah, dan kekerasan seksual jika tidak menuruti perintah 20 pelaku, termasuk anggota TNI/Polri, ormas, dan ASN.
Penegakan Hukum Kasus TPPO lewat Perspektif ‘Purba’: Negara Abai atas Hak Korban untuk Pemulihan melalui Restitusi
Sejak awal, proses hukum kasus ini diwarnai dengan upaya pengaburan fakta mengenai keterlibatan TRP sebagai aktor intelektual. Aparat penegak hukum hanya berfokus pada penghukuman eksekutor, mengabaikan pemulihan hak-hak dasar korban. Pendekatan represif ini mengakibatkan ketidakadilan yang berlanjut bagi korban. Korban Langkat tidak mendapat keadilan baik dari persidangan TRP maupun 4 eksekutor yang telah divonis bersalah. “Keadilan” dalam penegakan kasus Langkat seharusnya berfokus pada pemulihan korban.
Putusan bebas terhadap TRP merupakan bentuk double victimization atas korban. Hak-hak korban telah terlanggar saat peristiwa terjadi, dan bahkan setelahnya selama proses hukum berjalan hingga putusan. Ini menunjukkan lemahnya sistem peradilan dalam menangkap pelaku intelektual kasus TPPO yang memiliki kekuasaan dan pengaruh, berbanding terbalik dengan pelaku lapangan yang mayoritas berasal dari kelompok miskin. Dalam kasus Langkat, Majelis Hakim membebaskan TRP dengan alasan tidak terbukti merencanakan dan melakukan permufakatan jahat dalam kasus TPPO, serta menekankan bahwa kasus TPPO Langkat telah terselesaikan dengan dihukumnya empat eksekutor.
Dengan bebasnya TRP, maka korban tidak mendapatkan hak atas restitusi selaku korban TPPO. Sedangkan pada sidang 4 eksekutor tidak ada tuntutan restitusi dan tidak ada harta kekayaan pelaku yang disita oleh aparat, selain barang bukti berupa cangkul, sekop, plester semen, ember, dan sepatu bot. Barang-barang ini kemudian diserahkan untuk persidangan TRP. PBHI menyoroti hal ini menguatkan hasil riset bahwa kegagalan implementasi Pasal 30 (11) Perma Nomor 1/2022, salah satunya ialah harta kekayaan pelaku yang disita tidak memiliki nilai jual untuk memenuhi hak korban. Sehingga korban tidak mendapatkan pemulihan hak dalam bentuk apapun dari persidangan eksekutor kasus TPPO. Mirisnya, dalam UU TPPO, kompensasi tidak termasuk dalam hak yang didapat oleh korban. Hal ini menambah ketidakadilan sehingga korban tidak mendapat ganti rugi atas kejahatan yang dialaminya.
Berkaca dari kasus Langkat, TPPO sebagai kejahatan terorganisir yang melibatkan aktor sipil secara berjenjang (pemodal, operator/eksekutor, dll) serta aktor negara (birokrasi/administrasi), PBHI mendorong model pertanggungjawaban negara terhadap korban TPPO seharusnya dipersamakan dengan korban terorisme dan pelanggaran HAM berat yang mendapatkan jaminan pemulihan korban melalui mekanisme kompensasi.
Jakarta, 11 Juli 2024
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
Julius Ibrani – Ketua PBHI
Annisa Azzahra – Advokasi PBHI
Akses lebih lanjut: