Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) tidak dapat membenarkan tindakan mereka yang tergabung dalam Pembela Kesatuan Tanah Air (Pekat) pada 4 Februari 2015, yang melaporkan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana kepada Polres Metro Jakarta Barat atas tuduhan telah melakukan “pencemaran nama baik” terkait pernyataannya yang mengatakan Komjen Budi Gunawan (BG) menggunakan “jurus mabuk” untuk bertahan sebagai calon Kapolri yang gagal. Mengapa tuduhan pidana atas pendapat “jurus mabuk” tidak dapat dibenarkan?
Pertama, kedudukan BG adalah pejabat kepolisian. Dengan kedudukan ini sangat mungkin BG menuai sorotan sebagian publik. Sorotan umum dapat saja BG disanjung atau didukung, namun ada pula yang tidak mendukung bahkan menyampaikan pendapat atau kritik yang “pedas”. Sebagian pendapat dan ekspresi ini tersaji dalam media massa baik berbentuk teks dan gambar maupun video sebagai sarana yang mencerminkan kebebasan berpendapat (freedom of opinion).
Kedua, menjadi calon Kapolri yang sudah diajukan Presiden Joko Widodo kepada DPR, namun sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Sikap, pendapat bahkan desakan partai-partai dan kelompok pendukung BG adalah melantiknya sebagai Kapolri baru. Sebaliknya, pendapat, sikap dan ekspresi yang ditunjukkan oleh sebagian kelompok-kelompok non-partai adalah membatalkan pelantikan BG karena tersangka korupsi. Jadi, pada dasarnya dua kubu – kelompok pro BG dan anti BG – hanyalah ekspresi perbedaan pendapat.
Ketiga, setiap orang yang mengekspresikan kebebasan berada dalam lingkup hak-hak manusia, bukan tindak pidana. Istilah “jurus mabuk” yang dilontarkan Denny Indrayana adalah kritik atau opininya untuk menggambarkan jurus-jurus yang digunakan BG untuk bertahan dan masih mengincar jabatan Kapolri. Padahal KPK sudah menetapkannya sebagai tersangka pelaku tindak pidana korupsi. BG masih berharap menempati jabatan sebagai pimpinan tertinggi penegak hukum: Kapolri. Secara moral politik, sikap bertahan atau tidak mau mundur ini tergolong buruk. BG tidak meneruskan “tradisi” mantan menteri/pejabat di era SBY. BG juga tidak mengikuti jejak Bambang Widjojanto (BW) yang meletakkan jabatan di KPK. Sehingga BG dapat dinilai tidak memberikan contoh “baik” di tubuh kepolisian.
Keempat, perbedaan pendapat antara kubu pro dan anti BG tidak termasuk ke dalam wilayah tindak pidana. Namun, kalau pelaku kebebasan berpendapat dijebloskan ke dalam tuduhan tindak pidana, maka akan menimbulkan kriminalisasi atas pelaku kebebasan tersebut. Kalau Polres Metro Jakarta Barat ceroboh atau memaksakan diri untuk melanjutkan laporan/aduan tentang pendapat Denny Indrayana, maka dapat dituduh balik atas Polres melukan kriminalisasi. Tidak ada tindak pidana, namun diada-adakan. Seandainya Denny dipenjara atas pendapatnya, maka inilah yang disebut tahanan politik (political prisoner). Sejumlah tahanan politik pernah berulang pada era Presiden Megawati pada 2001-2002 (Human Rights Watch, 2002).
PBHI meminta Presiden untuk mengawasi perilaku kepolisian di Jakarta yang dapat menggiringnya sebagai pelaku pelanggaran hak-hak manusia, khususnya dalam kaitan delik aduan pidana atas Denny Indrayana. Selain itu, PBHI juga mendesak Plt Kapolri untuk tidak meneruskan kasus ekspresi kebebasan dijebloskan ke dalam tindak pidana. Permintaan dan desakan ini untuk mencegah berulangnya keburukan pemerintah dan kepolisian di era Presiden Megawati.
Jakarta, 8 Februari 2015
Badan Pengurus Nasional PBHI
Suryadi Radjab
Sekretaris