[Rilis Koalisi Pemantau Peradilan]
Jumlah Aparat Pengadilan yang Positif COVID-19 Meningkat, Komitmen Mahkamah Agung untuk Melindungi Aparat Pengadilan Dipertanyakan
Per Senin 31 Agustus 2020, berdasarkan penelusuran media, kasus aparat pengadilan yang positif COVID-19 terdeteksi sekitar 86 orang yang tersebar di 16 pengadilan di seluruh Indonesia (data terlampir). Respon pengadilan ditemukan masih beragam, misalnya terdapat pengadilan yang menutup total pengadilan (lockdown), ada yang menunda sidang, maupun mengurangi jadwal sidang, sampai melakukan rapid test atau swab test. Namun, masih ada yang hanya melakukan penyemprotan dan tetap membuka pelayanan.
Pengadilan | Tanggal | Jumlah Aparat Pengadilan yang Positif | Respon |
PN Medan | 25 Agustus | 1 | Memberlakukan Work From Home bagi Sebagian aparat pengadilan selama 5 hari. Hanya memberlakukan sidang secara virtual. Melakukan rapid test. |
PN Serang | 25 Agustus | 2 | Melakukan swab test |
PN Jakarta Pusat (2) | 24 Agustus | 9 | Menutup Pengadilan 7 hari |
PN Jakarta Pusat (1) | 19 Agustus | 1 | Penyemprotan |
PN Denpasar | 18 Agustus | 5 | Menutup Pengadilan 14 hari |
PA Praya | 18 Agustus | 1 | Penyemprotan |
PN Pare-Pare | 18 Agustus | 1 | Menutup pengadilan 3 hari |
PN Amlapura | 13 Agustus | 3 | Membatasi layanan |
PA Bukittinggi | 12 Agustus | 1 | Menutup pengadilan 14 hari |
PN Jakarta Barat | 11 Agustus | 5 | Menutup pengadilan 6 hari |
PA Kendari | 11 Agustus | 10 | Menutup pengadilan 8 hari |
PA Surabaya (3) | 10 Agustus | 26 | Menunda sidang 14 hari dan membatasi layanan |
PN Gorontalo | 10 Agustus | 2 | Menunda sidang 14 hari |
PN Surabaya (2) | 9 Agustus | 7 | Menutup layanan selama 14 hari |
PA Deli Serdang | 28 Juli | 1 | Menutup pengadilan selama 7 hari |
PA Lubukpakam | 27 Juli | 1 | Menutup pengadilan selama 7 hari |
PN Semarang | 19 Juli | 1 | Tes rapid massal |
PA Lumajang | 17 Juli | 7 | Menutup Pengadilan selama 7 hari |
PN Surabaya (1) | 15 Juni | 2 | Penundaan sidang selama 14 hari |
Kondisi di atas tentu menimbulkan kekhawatiran dan membutuhkan respon yang tegas dari Mahkamah Agung (MA). Sebagaimana kita ketahui pengadilan adalah tempat bertemunya banyak pihak, yaitu aparat pengadilan, penasihat hukum, jaksa penuntut umum dan para pihak yang bersengketa. Oleh karena itu kesehatan maupun keselamatan banyak pihak dipertaruhkan dalam pengelolaan penanganan COVID-19 di pengadilan.
Sejak COVID-19 ditetapkan sebagai bencana nasional non-alam di Indonesia, upaya Mahkamah Agung dalam merespon situasi darurat ini telah dimulai dengan dikeluarkannya SEMA No. 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Di Lingkungan Mahkamah Agung RI Dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya, sebagaimana terakhir kali diubah dengan SEMA No. 6 Tahun 2020. Kebijakan ini telah disesuaikan dengan perkembangan situasi terkini melalui lima kali perubahan. Selanjutnya MA mengeluarkan SEMA No. 8 Tahun 2020 tentang Pengaturan Jam Kerja Dalam Tatanan Normal Baru Pada Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya Untuk Wilayah Jabodetabek Dan Wilayah Dengan Status Zona Merah COVID-19. Melalui pedoman ini, MA menekankan penggunaaan E-Court maupun E-Litigation untuk menghindari atau setidaknya mengurangi potensi berkumpulnya banyak orang. Langkah selanjutnya yang harus diapresiasi adalah adanya Nota Kesepahaman antara MA, Kejaksaan, Kepolisian dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tentang Pelaksanaan Sidang Perkara Pidana melalui Konferensi Video dalam Rangka Pencegahan COVID-19 pada 13 April 2020.
Namun upaya-upaya di atas belum dapat mengantisipasi pencegahan penyebaran COVID-19 dan merespon kasus aparat pengadilan yang positif COVID-19. Dalam pedoman memang telah disebutkan sistem work from home, pembagian shift kerja, persidangan secara daring, himbauan menjaga jarak aman, menggunakan alat pelindung diri sebagai upaya menjaga keselamatan pegawai pengadilan. Namun dengan meningkatnya jumlah pegawai yang positif COVID-19 membuat upaya tersebut tidaklah cukup. Contact Tracing diperlukan untuk melacak kemungkinan berpindahnya virus dari aparat pengadilan kepada jaksa penuntut umum, penasihat hukum dan masyarakat yang hadir di pengadilan atau sebaliknya.
Mahkamah Agung belum mewajibkan seluruh pengadilan untuk melakukan rapid test atau swab test secara berkala kepada aparat pengadilan dan tidak perlu menunggu sampai ada pegawai yang terkonfirmasi positif. Beberapa pengadilan ada yang telah melakukan rapid test atau swab test secara mandiri. Namun, seringkali setelah seorang aparat pengadilan dinyatakan positif COVID-19, tidak semuanya diberikan rapid test atau swab test. Selain itu, Mahkamah Agung juga harus meningkatkan peran pimpinan pengadilan agar benar-benar menerapkan protokol kesehatan sesuai standar World Health Organization (WHO).
Oleh karena itu, Koalisi Pemantau Peradilan menyatakan:
- Mendesak Mahkamah Agung agar menutup sementara minimal selama 14 hari semua layanan pengadilan yang memiliki kasus positif COVID-19, dan terhadap kasus pidana yang memiliki isu masa penahanan, pengadilan wajib menerapkan sidang secara daring.
- Mendesak Mahkamah Agung untuk mengeluarkan kebijakan terkait kewajiban melakukan rapid test/swab test secara berkala dan menyeluruh untuk semua aparat pengadilan di seluruh Indonesia.
- Mendesak Mahkamah Agung untuk mewajibkan seluruh pengadilan selama masa tunggu hasil rapid test/swab test untuk menutup total pengadilan sampai dipastikan tidak ada aparat pengadilan yang positif COVID-19.
- Mendesak Mahkamah Agung untuk benar-benar menekankan para pimpinan pengadilan dalam memaksimalkan sistem work from home (WFH) atau sistem kerja bergiliran, melakukan persidangan daring, dan hal-hal lain dalam menerapkan protokol kesehatan secara ketat.
Jakarta, 2 September 2020
Koalisi Pemantau Peradilan
YLBHI, LeIP, PILNET Indonesia, PUSKAPA, ICW, PBHI, IJRS, ICJR, LBH Masyarakat, KontraS, ELSAM, LBH Jakarta, ICEL, PSHK, Imparsial, LBH Apik Jakarta