SIARAN PERS #BEBASKANSEPTIA
JAKSA BELUM SIAP DAN MENYERAHKAN SURAT DAKWAAN, HAKIM PERINTAHKAN JAKSA PENUHI SEGALA HAK SEPTIA
Jakarta, 10 September 2024 –Persidangan pertama kasus Septia, buruh yang dikriminalisasi melalui UU ITE karena memperjuangkan hak-hak ketenagakerjaannya digelar pada Senin 10 September 2024 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tim Advokasi Septia Gugat Negara Abai (TIM ASTAGA) memberikan pendampingan kepada Septia selaku terdakwa sejak proses upaya penyelesaian ketenagakerjaan hingga persidangan hari ini. Sidang tersebut digelar, tanpa informasi yang transparan dan memadai dari Jaksa Penuntut Umum. TIM ASTAGA mendapatkan informasi mengenai persidangan yang digelar melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Mahkamah Agung.
Sementara itu, di depan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, TIM ASTAGA menggelar aksi solidaritas untuk menuntut penghentian proses kriminalisasi terhadap Septia, mantan pekerja di PT. Hive Five milik pesohor Jhon LBF. Aksi ini dilakukan untuk menuntut penghentian kriminalisasi dan membiarkan kasus Septia diselesaikan secara administratif lewat mekanisme Perselisihan Hubungan Industrial (PHI).
TIM ASTAGA mencatat beberapa persoalan dalam sidang pertama yang digelar untuk Septia, di antaranya:
Pertama, TIM ASTAGA yang terdiri atas sejumlah organisasi buruh dan masyarakat sipil menggelar aksi solidaritas kepada Septia. Namun, aksi ini sempat dihalang-halangi oleh petugas pengadilan dan kepolisian. Bahkan, sejumlah orang yang ikut bersolidaritas untuk Septia juga sempat dilarang masuk ke lingkungan pengadilan.
Kedua, jadwal persidangan yang rencana digelar pada jam 14.00 WIB tersebut molor hingga jam 15.00 WIB. Sidang tersebut yang semula direncakan digelar di ruang Ali Said, berpindah sebanyak 5 (lima) kali hingga digelar di Ruang Soejadi. Pemindahan ruang secara terus menerus ini diduga untuk menghalang-halangi dan membatasi jumlah pengunjung yang bersolidaritas dalam persidangan Septia.
Ketiga, dalam persidangan yang berlangsung, terungkap jaksa penuntut umum (JPU) belum pernah menyerahkan surat dakwaan kepada Septia. Hakim memerintahkan kepada JPU untuk segera menyerahkan surat dakwaan kepada Septia sebagai salah satu pemenuhan hak terdakwa dalam sistem peradilan pidana. Akibatnya, sidang diskors selama satu minggu dan akan kembali digelar pada Selasa, 17 September 2024.
Keempat, TIM ASTAGA menyampaikan bantahannya terhadap pengenaan pasal yang dikenakan oleh JPU. Sebagaimana diketahui Septia dikenai Pasal tuduhan pencemaran nama baik berdasarkan UU ITE pada Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) dan/atau Pasal 36 jo. Ia juga dijerat dengan Pasal 51 ayat (2), dan/atau Pasal 310 KUHP dan/atau Pasal 311 KUHP. TIM ASTAGA menilai pengenaan pasal oleh JPU ini merupakan keliru, sebab ketentuan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) dinyatakan tidak lagi berlaku. Oleh karenanya, tidak ada alasan juga bagi Septia untuk ditahan oleh kejaksaan. Bukan hanya itu, dalam salinan berita acara pemeriksaan (BAP) yang dimiliki oleh TIM ASTAGA mendapati tidak adanya berita acara sumpah ahli dan daftar alat bukti yang disita.
Kelima, dalam proses persidangan yang berlangsung, kuasa hukum juga mengajukan penangguhan penahanan kepada Septia. Sebagaimana diketahui bahwa Septia akan melangsungkan pernikahan pada 21 September 2024 mendatang. Persiapan pernikahan ini sudah disiapkan secara sempurna termasuk penyebaran undangan kepada sanak dan kerabat. Na’asnya, tanpa alasan yang kuat kejaksaan menahan Septia meskipun selama 2 (dua) tahun ini Septia selalu kooperatif dan tidak pernah menghilangkan bukti dalam prosesnya.
Sidang tersebut diskors selama satu minggu dengan perintah hakim agar JPU bisa memenuhi hak-hak terdakwa, termasuk memberikan surat dakwaan kepada Septia. Sidang berikutnya akan kembali digelar pada Selasa, 17 September 2024.
Kriminalisasi Septia
Sebelumnya, Septia dilaporkan ke kepolisian karena menyuarakan pelanggaran hak-hak pekerja yang dialaminya melalui media sosial. Ia dilaporkan oleh Jhon LBF menggunakan Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) dan/atau Pasal 36 UU ITE. Ia juga dilaporkan dengan Pasal 51 ayat (2) KUHP, Pasal 310 dan/atau Pasal 311 KUHP.
Seperti yang diketahui, pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan pasal dari UU ITE tahun 2016 yang telah diubah melalui UU ITE baru yaitu UU No. 1 Tahun 2024. Berdasarkan asas Lex Posterior Derogat Legi Priori yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP dan asas Lex Favor Reo, Jaksa Penuntut Umum seharusnya menggunakan materi pasal ketentuan paling baru dan yang lebih menguntungkan bagi tersangka, yakni UU No. 1 Tahun 2024.
Selanjutnya, pernyataan Septia di media sosial tidak tepat dikenakan pasal pencemaran nama baik. Dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE lama, tuduhan yang dilakukan haruslah diniatkan untuk merendahkan martabat orang tertentu. Namun apa yang ditulis oleh Septia merupakan curahan terkait permasalahan di tempat kerjanya dan tidak sama sekali ada niatan untuk merendahkan martabat orang tententu. Terlebih, John LBF tidak dapat membantah bukti-bukti yang Septia layangkan pada saat proses keperdataan pada Disnaker di Mediasi pertama kepada Penyidik Polda Metro Jaya. Lebih lanjut, berdasarkan SKB UU ITE 2020, penilaian, pendapat, hasil evaluasi, dan kenyataan bukanlah pernyataan yang dapat dikriminalisasi menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE lama. SKB UU ITE 2020 juga memandatkan penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE lama didasarkan pada Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP yang mana Pasal 310 ayat (3) KUHP mengatur pengecualian pemidanaan untuk perbuatan yang dilakukan demi kepentingan umum atau pembelaan diri.
Maka dari itu, kriminalisasi terhadap Septia tidaklah berdasar secara hukum dan tidak layak untuk dilanjutkan. Kejaksaan Agung juga merupakan lembaga penegak hukum yang banyak menerapkan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkaranya. Prestasi ini akan tercoreng apabila Kejaksaan Agung bersikeras melanjutkan proses hukum atas Septia, buruh perempuan yang berjuang demi haknya. Selain itu, hal ini dapat dinilai sebagai preseden buruk bagi kebebasan berekspresi dan perlindungan hak-hak asasi manusia, khususnya pelindungan hak pekerja di Indonesia.
Berdasarkan sejumlah catatan tersebut, Tim Advokasi Septia Gugat Negara Abai (TIM ASTAGA) menyerukan:
1. Jaksa Agung untuk segera menghentikan proses hukum atas kasus Septia, karena kasus ini tidak berdasar secara hukum dan tidak layak untuk dilanjutkan.
2. Mendorong kasus Septia untuk diselesaikan secara administratif melalui mekanisme Perselisihan Hubungan Industrial (PHI).
3. Aparat Penegak Hukum tidak lagi menggunakan UU ITE tahun 2016 yang sudah usang dan menggunakan peraturan perundangan yang lebih baru dan lebih menguntungkan bagi tersangka dari perspektif HAM.
Organisasi Masyarakat Sipil yang Terlibat:
- Federasi Pergerakan Serikat Buruh Indonesia/Konfederasi Serikat Nasional (FPSBI-KSN)
- Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI)
- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
- Koalisi Perempuan Indonesia
- Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)
- Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)
- LBH Pers
- Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE)
- Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
- Resister Indonesia
- Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI)
- Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
- Trade Union Rights Center (TURC)
- Yayasan Kalyanamitra