16 Januari 2020 lalu Jaksa Agung ST Burhanuddin melontarkan pernyataan bahwa peristiwa Semanggi I dan Semanggi II bukan termasuk pelanggaran HAM berat. Pernyataan ini merujuk pada hasil rekomendasi Panitia Khusus Semanggi I dan II yang dibentuk DPR periode 1999-2004. Atas pernyataan tersebut, Jaksa Agung mendapat kecaman dari berbagai pihak termasuk dari masyarakat sipil dan Komnas HAM.
Komisi Kejaksaan merespon pernyataan kontroversial Jaksa Agung melalui Surat Rekomendasi Nomor B-23/KK/01/2020 dan menyatakan agar Kejaksaan Agung dan Komnas HAM dapat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat dengan cepat, membentuk UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta meminta Kejaksaan Agung menyelesaikannya dengan segera.
Walaupun Komisi Kejaksaan telah mengeluarkan rekomendasi, PBHI menilai rekomendasi tersebut tidak punya peran signifikan. Mengingat sudah 16 tahun Jaksa Agung tidak pernah meneruskan penyelidikan yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM. Hal ini terbukti dari pernyataan Burhanuddin yang menyatakan kendala dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM adalah ketiadaan Pengadilan HAM ad hoc dan alat bukti yang belum cukup dari Komnas HAM.
“Pernyataan Jaksa Agung menunjukkan bahwa Kejaksaan Agung memang tidak pernah serius dalam penyelesaian pelanggaran HAM. Tidak ada langkah solutif yang ditawarkan, tidak juga membuka peluang penyelesaian, ini merendahkan jabatan Jaksa Agung sendiri, yang diberi kewenangan dan peran yan begitu besar oleh negara dan konstitusi.”
“Selain itu kita juga tidak bisa berharap pada mekanisme KKR dalam waktu dekat karena RUU-nya juga tidak masuk dalam Prolegnas 2020. Padahal pemenuhan Hak Korban pelanggaran HAM masa lalu adalah mendesak dan harus segera mengingat sebagian besar dari Korban sudah uzur dan sakit-sakitan bahkan sudah ada yang wafat” ujar Julius.
PBHI juga mempertanyakan kembali komitmen Jokowi dalam penghormatan dan penegakan hukum dan HAM — khususnya pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan, pemulihan dan jaminan agar tidak berulang sesuai instrumen HAM internasional– pada periode kedua ini. Seperti yang diketahui sebelumnya, pada periode pertama Jokowi memasukkan agenda penuntasan kasus pelanggaran HAM berat dalam Nawacita dan RPJM 2015-2019 yang menyebutkan penyelesaian secara berkeadilan atas kasus pelanggaran HAM masa lalu memerlukan konsensus nasional dari semua pemangku kepentingan. Hingga pada periode kedua bersama Ma’ruf Amin ia juga berjanji melanjutkan penyelesaiannya, namun sampai detik ini PBHI belum melihat ada usaha sedikitpun dari Presiden Jokowi untuk hal ini. Terlebih lagi ia mengangkat Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan, padahal diduga terlibat dan/atau bertanggung jawab atas pelanggaran HAM Berat.
“Presiden Jokowi mempertahankan kegagalan besarnya dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Jika benar serius maka segera keluarkan Keputusan Presiden pembentukan pengadilan HAM ad hoc sebagaimana preseden yang dilakukan oleh Gus Dur untuk kasus Tanjung Priok dan Timor Timur dan mendorong DPR segera menyelesaikan pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Sehingga tidak ada lagi alasan bagi Jaksa Agung untuk tidak menyelesaikan kasus ini.” jelas Julius.
Jakarta, 29 Januari 2020
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia
Sekretaris Jenderal
Julius Ibrani (081314969726)