Siaran Pers
Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati (Koalisi HATI)
“Hukuman Mati Bukan Solusi”
Tanggal 10 Oktober diperingati seluruh dunia setiap tahunnya sebagai Hari Anti Hukuman Mati. Melihat tren internasional, narasi untuk menghapuskan hukuman mati semakin menguat, dibuktikan dengan hanya sedikit negara yang masih melakukan hukuman mati. Ada 108 negara yang sudah menghapus hukuman mati dari sistem hukum mereka, menjadikan total 144 negara yang tidak melakukan hukuman mati baik karena sudah menghapus, maupun sudah melakukan moratorium hukuman mati. Hal tersebut dapat diartikan bahwa di tingkat global terdapat tren yang positif dalam upaya penghapusan hukuman mati. Hanya sedikit negara yang masih menjatuhkan vonis mati dan melakukan eksekusi terhadap terpidana mati. Bertolak dengan tren global yang mendukung penghapusan hukuman mati, Indonesia justru masuk ke dalam sedikit negara yang masih menjatuhkan vonis hukuman mati, di berbagai tingkat pengadilan.
Kami memandang, semakin meningkatnya jumlah vonis pidana mati menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia tidak memiliki komitmen dalam upaya melindungi hak hidup warga negaranya. Lebih dari itu, tingginya angka penjatuhan vonis pidana mati di Indonesia juga sangat bertolak belakang dengan citra yang sedang dibangun oleh Pemerintah Indonesia di level internasional. Indonesia terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB 2020-2022 bahkan juga menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB yang merupakan posisi yang sangat dihormati dan strategis di level internasional. Namun pada realitanya, Indonesia masih juga belum memiliki political will untuk mendukung rekomendasi moratorium maupun abolisi dalam Universal Periodic Review (UPR) yang dilakukan oleh Dewan HAM PBB. Dalam Sidang UPR, terdapat setidaknya 20 rekomendasi terkait hukuman mati yang sama sekali tidak digubris oleh pemerintah Indonesia. Alih-alih menerima rekomendasi untuk moratorium hukuman mati, dalam perkembangannya, Indonesia juga telah mengubah sikapnya di Majelis Umum PBB dan Dewan HAM PBB terkait moratorium hukuman mati, yang seharusnya menjadi arah kebijakan politik HAM di tingkat nasional. Sebagai gantinya, Indonesia masih menggunakan pendekatan canggung dengan menjadikan hukuman mati sebagai hukuman alternatif pada RKUHP.
Ironisnya, di tengah pandemi Covid-19, disaat semua masyarakat di dunia mencoba untuk menyelamatkan nyawa, pengadilan di Indonesia malah mencabut nyawa dengan pemberian hukuman mati lewat sidang yang dilakukan melalui video teleconference, dimana minimnya ruang bagi Terdakwa untuk melakukan pembelaan dan masih jauh dari praktek peradilan yang adil. Koalisi menilai bahwa penerapan hukuman mati tidak pantas diterapkan di Indonesia, terutama mengingat proses hukum dan sistem peradilan di Indonesia yang masih memiliki banyak problematika serius seperti maraknya peradilan sesat, korupsi, praktik kekerasan, salah tangkap, minimnya akses bantuan hukum yang berkualitas, hingga masalah transparansi. Penolakan terhadap hukuman mati disebabkan oleh pendapat bahwa hukuman mati bisa menjadi solusi untuk permasalahan kriminalitas di Indonesia seperti Narkotika, Terorisme dan Korupsi. Padahal jika melihat angka-angka di lapangan, penerapan hukuman mati, tidak membantu mengurangi angka kejahatan ini. Malah untuk kejahatan terorisme, hukuman mati menjadi tujuan dari teroris itu sendiri karena dianggap melakukan jihad. Sedangkan untuk kasus korupsi, negara-negara di dunia dengan angka korupsi yang rendah, sudah menghapus hukuman mati dari sistem hukum mereka sejak bahkan ratusan tahun yang lalu. Di samping itu, pengaturan hukuman mati di dalam RKUHP dimana pidana mati diancamkan secara alternatif dan terpidana harus menjalani masa tunggu selama 10 (sepuluh) tahun sebelum dapat dievaluasi oleh pemerintah juga menimbulkan permasalahan lain.
Berangkat dari bacaan di atas, Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati (Koalisi HATI) yang terdiri dari Imparsial, PBHI, Elsam, KontraS, ICJR, YLBHI, HRWG,SETARA Institute, FIHRRST, LBH Masyarakat, LBH Jakarta, LBH Pers, PKNI, Yayasan Satu Keadilan, Migrant Care, IKOHI, PILNET, INFID dengan demikian mendesak agar:
1. Pemerintah membatalkan semua rencana eksekusi mati pada masa yang akan datang dan secepatnya memberlakukan moratorium hukuman mati serta menghapus pidana yang terindikasi adanya praktik peradilan yang tidak adil (unfair trial);
2. Presiden membentuk tim khusus yang bertugas untuk mengkaji permohonan-permohonan grasi yang diajukan oleh terpidana mati;
3. Pemerintah melakukan evaluasi dan kajian terhadap perkara kasus terpidana mati untuk memastikan adanya proses hukum yang benar, adil dan akuntabel, sehingga menutup peluang terjadinya kesalahan penghukuman;
4. Pemerintah dan DPR menghapuskan pidana mati dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan berbagai undang-undang lainnya;
5. Pemerintah dan DPR merevisi Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi, khususnya terkait batas waktu permohonan grasi dalam kasus terpidana mati, yang tidak boleh dibatasi oleh waktu sebagaimana yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 107/PUU-XII/2015, serta terkait proses pengajuan grasi yang tidak boleh berbelit-belit untuk memastikan hak terpidana tidak terlanggar;
6. Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk menjalankan UU Grasi yang dapat menjadi standar atau pedoman bagi Presiden dalam memberikan keputusan terkait permohonan grasi terpidana mati dengan mengacu kepada prinsip-prinsip hak asasi manusia.
7. Presiden membentuk tim untuk meninjau kondisi terpidana mati dalam Lapas dan memastikan langkah-langkah komutasi pada pidana mati.
Jakarta, 10 Oktober 2020
Koalisi HATI
Narahubung
Amalia Suri (Imparsial)
Totok Yuliyanto (PBHI)