Pengadilan Negeri Semarang kembali menggelar sidang lanjutan perkara pidana kriminalisasi mahasiswa penolak omnibus law pada selasa, 30 maret 2021 dengan agenda mendengarkan keterangan dari Terdakwa IRF dan NAA. Dalam persidangan, terungkap banyak fakta yang makin menguatkan keyakinan bahwa perkara ini murni rekayasa yang di design oleh Negara untuk membungkam dan melemahkan konsolidasi gerakan masyarakat sipil yang sebelumnya melakukan penolakan terhadap omnibus law cipta kerja, sebuah produk hukum cacat yang lebih merepresentasikan kepentingan oligarki daripada pemenuhan kesejahteraan masyarakat sipil. Tim Advokasi Kebebasan Berpendapat Jawa Tengah mengganggap bahwa fakta-fakta yang terkuak di muka persidangan, sudah sepantasnya dipertimbangkan secara objektif oleh majelis hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara a quo, terkhusus karena tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian untuk mengejar pengakuan dari IRF dan NAA, memanipulasi keterangan dalam BAP serta barang bukti yang dihadirkan di dalam persidangan. Berikut merupakan beberapa fakta yang terkuak dalam persidangan :
IRF dan NAA menyampaikan di muka persidangan bahwa pada saat proses pemeriksaan di kepolisian, mereka mendapatkan tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh banyak aparat kepolisian di Polrestabes Semarang. IRF mengaku bahwa selama hampir 3 (tiga) jam dirinya mendapatkan berbagai penyiksaan seperti dipukul kepala nya, ditendang, bahkan salah seorang anggota kepolisian menginjak di bagian leher dari IRF dengan menggunakan sepatu hingga kesusahan bernafas, dimana saat itu IRF mengaku sudah pasrah apabila harus mati karena penyiksaan yang didapatkan, pasalnya IRF merasa tidak berdaya dan tidak tahu harus berbuat apa serta meminta tolong kepada siapa untuk menyelamatkan dirinya. Permohonan ampun berkali-kali yang ia sampaikan kepada para polisi yang menyiksa dirinya juga tidak didengarkan dan bahkan terus melakukan tindakan penyiksaan tersebut, sehingga mengakibatkan IRF merasa setengah kehilangan kesadaran dan mengaku pasrah apabila harus mati saat itu. IRF juga menyampaikan bahwa saat itu dirinya ditendang hingga jatuh kemudian dipaksa untuk berdiri kembali, lalu setelah berdiri ia kembali ditendang dan dipukul hingga jatuh dan dipaksa berdiri lagi untuk disiksa kembali. Hal tersebut terjadi berkali-kali dan dilakukan oleh banyak aparat kepolisian. Akibat penyiksaan yang diterimanya tersebut, IRF mengeluarkan banyak darah dan memiliki beberapa luka di bagian tubuhnya. Selain itu IRF mengalami ketakutan sehingga mengakibatkan selama proses pemeriksaan ia mengikuti semua arahan yang disampaikan oleh penyidik, karena ia takut mendapatkan siksaan kembali;<br>Adapun NAA yang baru ditangkap sekitar pukul 23.00 datang ke polrestabes semarang dan melihat 3 (tiga) rekan nya sudah berada dalam kondisi tubuh yang babak belur. Termasuk ia melihat IRF yang berkali-kali mengeluarkan darah dari hidung nya. Selain itu NAA juga mendapatkan tindak kekerasan, dimana ia mendapat 2 (dua) kali pukulan di bagian kepala menggunakan sebuah tongkat yang dilakukan oleh salah seorang anggota kepolisian, hanya karena anggota polisi tersebut tidak terima dilihat oleh NAA;
Selain kekerasan fisik, IRF dan NAA juga mendapatkan kekerasan secara verbal yang dilakukan oleh banyak anggota kepolisian di polrestabes semarang, seperti umpatan anjing, asu, dan beberapa kata kasar lain. IRF dan NAA menyampaikan bahwa saat proses pemeriksaan di kepolisian, keduanya sama sekali tidak didampingi oleh penasihat hukum. Padahal sesuai dengan KUHAP, mereka memiliki hak untuk didampingi oleh penasihat hukum. Hal ini membantah keterangan dalam BAP Kepolisian yang diduga dibuat-buat secara tidak benar oleh penyidik karena menyatakan bahwa IRF dan NAA didampingi oleh penasihat hukum
IRF dan NAA menyatakan bahwa keterangan yang terdapat didalam BAP bukan keterangan sesungguhnya dari mereka berdua, melainkan keterangan yang diarahkan, dipaksakan dan dibuat oleh penyidik untuk mengejar pengakuan dari IRF dan NAA yang sebelumnya juga mendapatkan tindak penyiksaan. Selain itu IRF dan NAA tidak diijinkan untuk membaca BAP yang telah dicetak, karena penyidik memaksa mereka untuk segera menandatangani nya.IRF dan NAA juga mengakui bahwa barang bukti berupa batu dan baskom yang dihadirkan oleh JPU di depan persidangan bukanlah barang bukti yang sesungguhnya, melainkan se belumnya dibuat-buat oleh penyidik. Pasalnya saat proses pemeriksaan di polrestabes semarang, penyidik menghadirkan sekarung berisi banyak batu dan menyuruh IRF dan NAA untuk memilih batu yang sebenarnya bukan batu milik mereka. Selain itu penyidik mengambil 1 (satu) buah baskom makanan anjing K9 dari kandang di polrestabes, yang kemudian baskom tersebut sengaja dibuat rusak oleh penyidik supaya bisa dugunakan sebagai barang bukti di persidangan.Bahwa pada saat aksi demonstrasi tanggal 7 oktober 2020 lalu, IRF mengaku bahwa tidak pernah diajak berbicara dan diberi rokok oleh Agus Salim, seorang polisi yang sebelumnya didatangkan oleh JPU menjadi saksi, selain itu IRF juga membantah tidak pernah menaiki pagar, sekaligus menyatakan tidak pernah bertemu, berinteraksi atau melihat polisi bernama agus salim pada saat aksi demonstrasi lalu, dan menyatakan kesaksian dari agus salim tidak benar karena dibuat-buat dan tidak sesuai fakta;
Bahwa saat ditangkap, IRF membantah bahwa yang melakukan penangkapan terhadap dirinya adalah polisi bernama Agus Salim dan Destrianto, yang sebelumnya kedua polisi tersebut dihadirkan oleh JPU untuk memberikan keterangan, dimana kedua polisi tersebut mengaku melihat IRF melakukan pelemparan yang mengakibatkan kerusakan, karena saat itu posisi kedua polisi tersebut berada di dekat IRF, selain itu kedua polisi tersebut mengaku-aku sebagai polisi yang melakukan penangkapan terhadap IRF. Akan tetapi dalam pemeriksaan terdakwa, IRF membantah bahwa yang menangkap dirinya bukanlah Agus Salim dan Destrianto, melainkan anggota polisi berpakaian lengkap dari unit Brimob. IRF juga menyatakan bahwa Agus Salim dan Destrianto tidak berada di dekatnya
Bahwa IRF menyatakan bahwa saat ditangkap, ia mendapatkan tindakan kekerasan berupa pukulan dan tendangan sebanyak 2 (dua) kali di bagian ulu hati nya. Polisi penangkap juga tidak menunjukan surat penangkapan serta tidak menjelaskan alasan penangkapan terhadap IRF, melainkan secara paksa langsung membawa IRF ke dalam gedung DPRD. Di depan gedung DPRD ia kembali mendapat berbagai pukulan dari banyak aparat kepolisian lain;Bahwa didalam gedung DPRD, IRF dibawa ke sebuah ruangan yang didalamnya juga terdapat puluhan massa aksi lain. Saat itu IRF dan puluhan massa aksi yang berada diruangan itu dipaksa untuk membuka baju dan celana nya hingga menyisakan celana dalam saja yang dikenakan. Selain itu IRF dan puluhan massa aksi yang berada dalam ruangan tersebut dipaksa merangkak oleh anggota kepolisian saat melakukan pendataan;
Bahwa IRF dan NAA menyatakan saat sampai di depan gedung DPRD, pagar DPRD sudah dalam keadaan yang roboh. Selain itu IRF dan NAA menegaskan bahwa saat aksi demonstrasi keduanya menggunakan jas almamater, hal ini membantah keterangan saksi polisi yang sebelumnya didatangkan oleh JPU, dimana polisi tersebut mengaku melihat IRF dan NAA melakukan pelemparan yang mengakibatkan kerusakan dengan tidak memakai jas almamater.IRF dan NAA menyampaikan kepada majelis hakim bahwa mereka melihat terdapat beberapa orang mencurigakan yang bukan seusia mahasiswa, dan tidak menggunakan atribut dari serikat buruh yang diduga merupakan provokator karena berkali-kali melakukan pelemparan. Adapun ciri-ciri dari orang-orang tersebut menurut IRF dan NAA adalah menggunakan jaket yang menutupi tubuh, dan menggunakan buff. Dimana orang-orang tersebut juga menyuruh kepada massa aksi lain untuk melempar;IRF dan NAA menegaskan bahwa tidak ada kerugian, berupa rusaknya fasilitas public ataupun tidak ada aparat kepolisian yang terluka karena sebab yang dilakukan oleh IRF dan NAA. Sehingga dakwaan yang disampaikan oleh JPU terkait dengan kerugian haruslah dinyatakan ditolak karena hingga hari ini belum ada yang bisa membuktikan hal tersebut;<br>IRF menyatakan bahwa alasan dirinya mengikuti aksi demonstrasi penolakan omnibus law dilatarbelakangi karena aktivitasnya di unit kegiatan mahasiswa pecinta alam yang kemudian menyadari bahwa muatan pasal yang terkandung didalam Omnibus Law Cipta Kerja berpotensi makin merusak lingkungan. Dalam persidangan, terdapat 2 (dua) hal utama yang disampaikan kepada majelis hakim terkait alasan penolakan nya tersebut, yang pertama terkait dengan sentralisasi perizinan serta kedua berkaitan dengan hilang nya keterlibatan partisipasi masyarakat dalam AMDAL. IRF menyampaikan bahwa ketika perizinan sudah dialihkan dari yang sebelumnya diberikan oleh pemerintah daerah, kini berpusat dan diberikan hanya kepada pemerintah pusat, maka hal tersebut akan menjauhkan masyarakat dari akses untuk mendapatkan keadilan, selain itu hilangnya partisipasi masyarakat dalam penyusunan AMDAL tentu saja berpotensi akan merampas ruang hidup dari masyarakat itu sendiri;<br>Sedangkan NAA menyampaikan bahwa dalam omnibus law cipta kerja ditemukan banyak ketidakadilan bagi kaum buruh/pekerja yang tentu juga berkaitan dengan nasib orang tua nya yang bekerja sebagai buruh, serta dirinya yang kelak akan menjadi buruh juga. NAA menyampaikan mengenai nasib UMP yang sebelumnya dibahas dan ditentukan oleh Negara, pengusaha dan buruh/serikat buruh, tapi dalam Omnibus law besaran UMP hanya ditentukan oleh pihak pengusaha dan buruh saja, hal ini berpotensi memunculkan ketidakadilan, karena terdapat posisi timpang/tidak setara antara pengusaha dan buruh yang pasti akan menempatkan buruh dalam posisi yang tertekan karena ketidakberdayaan menolak usulan dari pengusaha, hal ini mungkin terjadi karena tidak ada peran dari Negara yang bertindak untuk menengahi hal tersebut. Selain itu NAA juga menyoroti terkait dengan pekerja kontrak yang nasib nya makin tidak menentu. Hal-hal yang disampaikan diatas terkait dengan alasan mengikuti aksi demonstrasi membuktikan bahwa kehadiran IRF dan NAA merupakan murni untuk menyampaikan aspirasi menolak omnibus law, dan membantah anggapan yang menyatakan bahwa IRF dan NAA hanya sebatas ikut-ikutan serta datang aksi demonstrasi memiliki niat jahat hanya untuk bertindak rusuh.
Berangkat dari fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan ini, semakin menguatkan keyakinan bahwa perkara ini merupakan rekayasa yang dibuat-buat karena mengedepankan tindakan penyiksaan untuk mengejar pengakuan, yang sebetulnya hal tersebut tidak dibenarkan oleh aturan hukum apapun. Oleh karena itu Tim Advokasi Kebebasan Berpendapat Jawa Tengah mengajak seluruh elemen jaringan masyarakat sipil untuk kembali merapatkan barisan untuk melawan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Negara melalui perpajangan tangan nya, yakni aparat kepolisian yang makin hari makin mempertontonkan keberingasan secara terang-terangan, dan ironi nya hal tersebut tidak mendapatkan tindakan hukum apapun.