Aktor pelanggaran HAM kembali mendapat jabatan dalam rezim Joko Widodo. Kali ini Mayjen TNI Untung Budiharto yang kebagian jatah sebagai Panglima Kodam (Pangdam) Jaya setelah ditunjuk oleh Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa pada 5 Januari lalu. Untung merupakan eks anggota Tim Mawar yang melakukan penculikan dan penghilangan paksa pada aktivis pro-demokrasi di tahun 1998.
Pemberian jabatan pada pelaku pelanggaran HAM di era Joko Widodo bukanlah hal yang baru. Sebelum Untung, sudah ada lima orang eks anggota Tim Mawar yang mendapat jabatan strategis di lingkungan Kementerian Pertahanan. Lima orang tersebut antara lain adalah Brigjen Dadang Hendra Yudha, Birgjen (Purn) Yulius Selvanus, Mayjen Fauzambi Syahrul Multhazar, Mayjen (Purn) Chairawan Kadarsyah Kadirrussalam Nusyirwan, dan Brigjen TNI Nugroho Sulistyo Budi. Pintu bagi masuknya eks anggota Tim Mawar ke dalam lingkungan Kementerian Pertahanan bermula dari penunjukan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan oleh Presiden Joko Widodo.
Pemberian jabatan bagi eks anggota Tim Mawar sangatlah tidak sejalan dengan janji manis Presiden Joko Widodo untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu. Hingga saat ini, masih terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum kunjung diselesaikan. Salah satu dari 12 kasus tersebut adalah kasus penculikan dan penghilangan paksa yang dilakukan oleh Tim Mawar. Terdapat 13 korban dalam peristiwa tersebut yang bahkan belum ditemukan sampai hari ini. Persidangan yang digelar bagi anggota Tim Mawar di Mahkamah Tinggi Militer juga telah menghilangkan unsur paling penting dalam kasus ini yaitu adanya hierarki komando yang berasal dari Prabowo sebagai atasan anggota Tim Mawar saat itu. Penghapusan unsur hierarki komando dalam persidangan kasus tersebut meloloskan Prabowo sebagai sosok yang seharusnya paling bertanggungjawab. Sehingga tak heran jika eks anggota Tim Mawar kini malah mendapatkan jabatan strategis, sebagai bentuk upah politik yang diberikan Prabowo.
Pemberian jabatan bagi pelaku pelanggaran HAM berat telah menciderai rasa keadilan bagi korban dan keluarganya. Apalagi sebelumnya dikeluarkan R-Perpres Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Pelanggaran HAM Berat melalui Mekanisme Non Yudisial pada 2021 lalu yang mengakomodir adanya impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM. Hal-hal ini mengkonfirmasi bahwa arah penyelesaian pelanggaran HAM berat di era Joko Widodo bukannya maju, namun menjadi semakin mundur dan semakin buram.
PBHI mengecam pemberian jabatan bagi pelaku pelanggaran HAM berat. “Pemberian jabatan pada eks anggota Tim Mawar merupakan bentuk penghianatan pada Konstitusi yang menjamin HAM bagi para korban. Apalagi saat ini masih terdapat korban yang belum ditemukan. Seharusnya pemerintah berupaya menemukan keberadaan korban dan memberikan keadilan yang sepatutnya mereka terima, bukannya malah memberi jabatan bagi pelaku yang bersalah menghilangkan mereka”, ungkap Chikita Edrini, Koordinator Advokasi HAM PBHI. Senada dengan pernyataan Chikita, Gina Sabrina selaku Sekjen PBHI juga melayangkan kritiknya terhadap kemunduran yang dipertontonkan pemerintah dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. “Dari sini kita bisa katakan bahwa wajah Presiden Joko Widodo di periode jabatannya yang kedua semakin terlihat jelas, yaitu anti HAM dan tidak berpihak pada rakyat terutama korban pelanggaran HAM berat. Sejak awal Prabowo ditunjuk sebagai Menhan, konsekuensi berupa adanya impunitas dan pengistimewaan bagi pelaku pelanggaran HAM sudah dapat diprediksi dan nyatanya hal itu benar-benar terjadi di masa sekarang ini. Seharusnya Komnas HAM jangan diam, kalau memang sudah kekenyangan sebaiknya tidur saja, mundur dari jabatan dan jangan kerja”, pungkas Gina.
Kritik juga disampaikan oleh Julius Ibrani selaku Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI. Julius menyatakan “Rusak sudah sendi-sendi Konstitusi Indonesia yang seharusnya menjamin dan menegakkan HAM. Jabatan militer yang sangat krusial dan jajaran Kemenhan malah jadi sarana pemberian upah politik gerombolan warisan rezim pelanggar HAM di masa Orde Baru”.
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia