Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) telah menyerahkan draft final Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada Komisi III DPR RI. Rancangan undang-undang ini masih menjadi sorotan setelah sempat memicu gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat pada 2019 lalu.
Hingga akhirnya DPR dalam rapat paripurna terakhir yang digelar pada 30 September 2019 memutuskan menunda pembahasan RUU KUHP. Ketua DPR sekaligus pimpinan sidang saat itu Bambang Soesatyo menyatakan bahwa RKUHP menjadi salah satu dari lima RUU yang ditunda dan akan dilanjutkan atau carry over pada periode berikutnya.
Kini setelah hampir tiga tahun berselang, Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej mewakili pemerintah akhirnya menyerahkan draf RKUHP Final kepada DPR untuk dibahas. Setidaknya ada tujuh hal yang dilakukan pemerintah dalam revisi atau penyempurnaan RKUHP tersebut, salah satunya soal 14 isu krusial.
Salah satu isu krusial yang masih dipertahankan dalam draf final RKUHP ini adalah Pasal tentang penyerangan kehormatan Presiden dan Wakil Presiden (Wapres).
pasal tentang penyerangan terhadap martabat Presiden dan Wapres ini tertuang dalam BAB II. Adapun bunyinya adalah sebagai berikut:
Bagian Kesatu
Penyerangan terhadap Presiden dan Wakil Presiden
Pasal 217
Setiap Orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Bagian Kedua
Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden
Pasal 218
(1) Setiap Orang yang di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Pasal 219
Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Pasal 220
(1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.
Wamenkumham mengungkapkan, dalam draft terbaru ada penjelasan tambahan mengenai perbedaan kritik dan penghinaan.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Nasional, Julius Ibrani, mewakili Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan bahwa penyusun draf RKUHP hanya memainkan diksi, namun poinnya tetap sama yakni mengekang kebebasan sipil.
“Ini eranya membuat undang-undang seperti puisi, jadi dia nggak ngomong langsung tapi maknanya kita tahu. Pertama dia bilang ini bukan penghinaan kok, tapi penyerangan terhadap harkat dan martabat. Kita lihat dari awal konsepnya udah salah, jadi mau ngeles dalam bentuk apapun udah salah,” katanya.
Dia menjelaskan bahwa harkat dan martabat itu kaitannya adalah personal atau pribadi. Sementara Presiden dan Wapres adalah lembaga negara. Sehingga, menurut dia, Presiden dan Wapres tidak memiliki harkat dan martabat, yang ada adalah tugas dan wewenang.
“Kedua, merendahkan atau merusak nama baik, ini jelas pribadi. Merendahkan itu maksudnya seperti apa? Kehormatannya yang tadinya tingginya 10 meter jadi 5 meter? Itu ukuran absurd juga,” ucap Julius.
Lebih lanjut, PBHI Nasional juga menyoroti Pasal 218 ayat (2) yang menyatakan bahwa kritik demi kepentingan umum tidak termasuk dalam kategori tindak pidana penyerangan terhadap harkat dan martabat Presiden dan Wapres. Namun kritik yang diperbolehkan harus bersifat konstruktif dan memberikan solusi atau jalan keluar.
“Ini udah luar biasa kelirunya, seolah mengatakan ‘udah lu kalau bukan lu yang ngerjain lu jangan ngoceh’ intinya gitu. Kenapa? Karena solusi dan jalan keluar itu tugasnya si pejabatnya, bukan tugas masyarakatnya (yang memberi kritik),” ujar Julius.
“Jadi kan pemilihan kata-katanya saja. Diksinya berbeda, tapi maknanya sama kriminalisasi terhadap kebebasan sipil untuk mengkritik pejabat negara, itu poinnya,” sambung dia.
Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden bukan satu-satunya pasal karet yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat. Dalam catatan Koalisi Masyarakat Sipil, setidaknya masih ada 24 isu krusial di dalam draft RKUHP, antara lain soal kohabitasi, penyebaran kondom, pemidanaan terhadap living law atau hukum adat, hingga contempt of court.
“Contempt of court ini sangat menimbulkan ketidakpastian hukum setiap orang. (Misal) dalam persidangan itu harus bertutur kata sopan. Sopan itu apa aturannya? Saya bisa bilang Anda berbicara dengan saya tidak sopan, sementara Anda bilang sudah sopan. Ini kan perspektif subjektif yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Dan sampai sekarang pasal itu masih ada,” kata Julius.
Karena itu, tidak menutup kemungkinan gelombang penolakan terhadap RKUHP kembali terjadi seperti pada 2019 lalu. Menurut dia, respons tersebut sangat wajar karena kebebasan sipil dan hak warga negara yang dijamin konstitusi justru didegradasi dengan RKUHP.
“Karena ini menunjukkan supremasi kekuasaan atau supremasi penguasa. Kekuasaan ini dengan sendirinya akan menyerang masyarakat sipil. Mereka (rakyat) membayar pajak untuk kerja-kerja pemerintah yang menghasilkan sesuatu (produk hukum) yang malah hendak memenjarakan mereka. Ini lucu. Jadi sudah wajar masyarakat sipil di manapun marah berteriak dan kemudian menolak isi RKUHP,” ucapnya.
Selain itu, Julius menilai bahwa penyusunan RKUHP ini masih jauh dari cita-cita para pendahulu yang ingin Indonesia memiliki KUHP produk bangsa sendiri, bukan warisan pemerintahan kolonial Hindia-Belanda.
“Kalau yang sekarang (KUHP) katanya kan ini dari era kolonial, tapi draft (RKUHP) yang kemarin ini sih bukan dekolonialisasi, tapi ‘demi’ kolonisasi. Paling sederhana kita lihat, ini (RKUHP) wataknya kolonial, karena mengagung-agungkan kekuasaan dan penguasa memenjarakan rakyatnya,” ujarnya.
“Jadi apakah ini produk dari anak bangsa? Tidak. Ini sama sekali bukan produk anak bangsa,” kata Julius menandaskan.