JAMINAN Penegakan Hukum, Penghargaan, dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia sangatlah bergantung pada sejauh mana kesadaran kolektif pengelola pemerintahan dan kenegaraan, dalam memposisikan Hak Asasi Manusia sebagai Hak Dasar warga, sehingga dalam kondisi apapun mesti dipenuhi sebagai kewajiban yang tak boleh ditawar pelaksanaannya.
Mengapresiasi pengelolaan pemerintahan dan kenegaraan beberapa tahun terakhir oleh Duet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono – Budiono (SBY – Budiono), utamanya terkait dengan pemenuhan Hak Asasi Manusia, secara jujur harus dikatakan bahwa Duet SBY – Budiono bukan hanya jauh dari harapan, akan tetapi bahkan terkesan abai atas terlaksanannya penghargaan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia sebagai hak dasar warga paling hakiki.
Bahkan di berbagai pengalaman nyata terjadinya kasus-kasus pelanggaran HAM. Negara di tangan SBY – Budiono cenderung melakukan pembiaran, sehingga setiap ancaman pelanggaran HAM pada akhirnya manifest menjadi kasus pelanggaran dan kemudian meluas dan berdampak luas bagi kehidupan sosial, politik, budaya dan ekonomi warga.
Akibat lebih jauh, warga tidak hanya semakin berada dalam ketidak percayaan yang begitu rendah atas dan atau terhadap penyelenggaran pemerintahan dan kenegaraan, tetapi kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi cenderung menyulut pelanggaran HAM lain, yang kian rumit, kompleks, berlarut, dan nyata tidak mudah diurai akar persoalannya.
Bahwa seperangkat instrument perundangan (regulasi) di sektor HAM sebagai alat pemaksa bagi penegakannya, relative telah menjadi ketetapan dan Negara juga telah meratifikasi berbagai konvenan penting sebagai landasan pengakuan atas HAM. Akan tetapi itu semua tak banyak berpengaruh bahkan seolah-olah tak berarti mengingat dalam praktiknya, pengelola pemerintahan dan kenegaraan jauh dari keinginan yang sungguh-sungguh untuk benar-benar memberikan jaminan pemenuhan HAM. Sehingga hal tersebut juga menjadi problema paling khas SBY–Budiono dalam ranah penegakan dan penghargaan HAM, yakni sekedar menjadikan seluruh konvenan yang telah dirativikasi, perundang-undangan yang telah ditetapkan dan memiliki kekuatan hukum tetap dalam pelaksanaannya, hingga seluruh kebijakan dan rencana aksi di bidang HAM oleh Negara sebagai sesuatu yang bersifat etalatif belaka, Lip service dan pemenuhan kepentingan menjaga citra.
Kita bisa mendaftar kasus-kasus pelanggaran HAM, baik yang latent dan berpotensi memicu pelanggaran maupun yang telah manifest dan mengakibatkan begitu banyak pengingkaran HAM di tingkat warga, hampir keseluruhannya terlambat untuk ditanggapi.
Jika harus dirumuskan dengan kalimat yang lebih sederhana, di tangan SBY-Budiono, pemenuhan, perlindungan dan penghargaan atas Hak Asasi Manusia masih jauh dari harapan “Hakekat dari nilai-nilai sejati Hak Asasi Manusia” itu sendiri.
Baik dari perspektif konsep dan grand design pemenuhan, perlindungan maupun penghargaan HAM. Konskuensi, intensitas dan konsistensi dalam pelaksanaan seluruh instrument HAM Internasional yang telah dirativikasi. Kepatuhan pada amanat konstitusi terutama yang memuat pesan-pesan HAM. Tertib perundangan hingga pelaksanaan seluruh aturan di bidang HAM yang telah menjadi keputusan dan ketetapan hukum positif. Hingga kesiapan institusi dan aparat pelaksana beserta seluruh agenda evaluasi serta pengawasan di bidang implementasinya.
Berdasarkan itu semua, Perhimpunan Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) merasa perlu menyampaikan sejumlah pernyataan sikap kelembagaan :
Pertama, SBY–Budiono harus secara sungguh-sungguh segera menunjukkan itikadnya untuk memberikan jaminan perlindungan, penegakan, penghargaan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia serta secara sistematis menghentikan tradisi pembiaran atas terjadinya pelanggaran HAM yang cenderung meningkat, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
Kedua, di tangan SBY –Budiono, Negara harus terus menerus hadir, bekerja, serta bertanggung-jawab atas berbagai problema kemasyarakatan yang selama ini seolah-olah tak pernah memperoleh jalan penyelesaian relatifnya sebagai kewajiban Negara. Di berbagai kesempatan, justru kepada warga di pertontonkan kebijakan yang cenderung disintegrative berpotensi memicu pelanggaran HAM serta menjauhkan warga dari harapan kesejahteraan.
Ketiga, SBY – Budiono harus segera merumuskan agenda strategis yang bermakna memposisikan Negara dan kedaulatan rakyat di tangannya sebagai alat nyata bagi perlindungan dan pemenuhan HAM serta percepatan tercapainya harapan kesejahteraan sebagai Hak Dasar Warga, baik dalam perspektif Hak Sipil dan Politik maupun Ekonomi, social dan kebudayaan
Jakarta, 07 Desember 2012
BADAN PENGURUS NASIONAL
PERHIMPUNAN BANTUAN HUKUM DAN HAM INDONESIA – PBHI