Seorang tahanan narkotika di Polsek Medan Kota berinisial Z meninggal pada 26 Desember lalu dengan kondisi luka bakar seperti bekas sundutan rokok, bekas cekik dan luka lebam di seluruh tubuh. Tidak hanya itu, Z juga diketahui diperas dan diancam oleh penyidik Polsek Medan Kota yang meminta uang sebesar Rp25 Juta jika ingin dibebaskan. Setelah meninggal, keluarga korban bahkan diminta menandatangani surat pernyataan bahwa tidak akan menuntut siapapun atas kematian korban.
Meskipun berstatus sebagai tahanan, Z tetaplah manusia yang tidak dapat diperlakukan semena-mena. Perlakuan kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabat yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap Z bertentangan dengan Pasal 28 G ayat (2) Konstitusi, dan Pasal 33 ayat (1) UU HAM. Di samping itu, Pasal 10 angka 1 UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR juga mengatur bahwa “Semua orang yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia”. Artinya hanya hak kebebasan yang boleh dirampas, sehingga perlakuan tidak manusiawi aparat terhadap Z merupakan bentuk pelanggaran HAM dan penyiksaan.
Institusi Polri sendiri juga sebenarnya sudah memiliki SOP internal untuk melaksanakan tugas berdasarkan prinsip dan standar HAM yang tertuang dalam Perkap Nomor 8 Tahun 2009. Namun implementasinya nihil. Sehingga diperlukan upaya evaluasi serius untuk mencegah lebih banyak nyawa para tahanan yang melayang sia-sia akibat perbuatan yang tidak berkeprimanusiaan dari aparat.
Di sisi lain, kasus Z juga turut memperlihatkan benang kusut dalam implementasi kebijakan dan penindakan kasus narkotika di Indonesia. Selama ini, kriminalisasi terhadap pengguna dan pecandu masih terus dilakukan dengan minimnya pendekatan kesehatan yang memberikan akses terhadap rehabilitasi. Hal ini juga menjadi penyebab sebanyak 77% lapas mengalami masalah over kapasitas. Pemberian hukuman mati bagi narapidana narkotika juga masih diterapkan meskipun bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan tidak terbukti menimbulkan efek jera. Di saat yang bersamaan, hal yang paling krusial seperti upaya membongkar jejaring pemodal dan sindikat pengedar tidak dilakukan secara serius.
Dalam konteks penindakan kasus narkotika, masih banyak aspek yang perlu dibenahi secara serius. Mulai dari praktik rekayasa kasus, kejadian salah tangkap yang terus berulang, over kapasitas pada lapas yang berujung pada tidak terpenuhinya HAM para tahanan dan narapidana secara optimal, serta praktik pencitraan lainnya yang minus penyelesaian yang banyak dilakukan oleh pemerintah.
Berangkat dari penjelasan kasus di atas, PBHI dengan ini mendesak:
• Pemerintah dan DPR-RI agar merevisi kebijakan narkotika yang berfokus pada aspek kesehatan dan penindakan dalam skema sistem peradilan pidana yang layak HAM
• Pemerintah dan DPR-RI menyempurnakan kebijakan anti penyiksaan termasuk melakukan ratifikasi OPCAT
• Kapolri c.q Kapolda Sumatera menindak tegas dan memberhentikan secara tidak hormat penyidik dan jajaran Polsek Medan Kota yang terlibat dalam penyiksaan Tahanan Z
• Komnasham dan Kompolnas untuk mengusut tuntas masalah pelanggaran HAM
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia
Jakarta, 6 Januari 2022