Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mengecam tindakan aparat Bareskrim Polri dan Polda yang menangkap dan menahan 10 aktivis politik pada 2 Desember 2016, yaitu Adityawarman Thaha, Ahmad Dhani, Eko Suryo Suripto, Firza Huzein, Jamran, Kivlan Zein, Rachmawati Soekarnoputri, Ratna Sarumpaet, Rizal Khobar, dan Sri Bintang Pamungkas. Mereka dikenakan Pasal 107 tentang Makar (KUHP), dan Pasal 28 ayat 2 UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Tindakan Polri itu dapat disebut sebagai perampasan hak atas kebebasan berpolitik, karena bertentangan dengan hukum hak asasi manusia (HAM) sebagaimana yang terkandung dalam Pasal 28 UUD 1945, Pasal 23 Ayat 2 dan Pasal 24 Ayat 1 dan Pasal 25 UU No. 39/1999 tentang HAM, serta Pasal 19 Ayat 1 dan Pasal 21 UU No. 12/2005.
Pertama, kegiatan yang dilakukan para aktivis itu adalah merealisasikan kebebasan berpendapat dan menyebarluaskan pendapat mereka baik melalui media cetak maupun elektronik. Seorang di antara mereka, Sri Bintang Pamungkas menulis dan melayangkan sepucuk surat kepada Ketua MPR. Mereka menyerukan kepada orang lain untuk menyampaikan pendapat supaya MPR menggelar Sidang Istimewa (SI).
Pikirkan saja: [1] Apa dengan sepucuk surat bisa menggulingkan Presiden Jokowi dan membubarkan pemerintahannya? [2] Bukankah surat itu dilayangkan ke MPR? Jadi, yang bersangkutan percaya MPR, serta terserah MPR mau menggelar SI atau tidak. Sungguh berlebihan, seseorang mengeluarkan pendapat yang disampaikan ke MPR justru diubah jadi kejahatan makar.
Kedua, berkumpul atau mengadakan pertemuan adalah bagian dari kebebasan berkumpul untuk membuat kesepakatan atau keputusan. Mereka mengajak orang lain dengan tulisan atau gambar untuk bersama-sama mendatangi DPR/MPR dengan meminta parlemen ini mengggelar SI MPR.
Lagi: [1] Apa dengan mendatangi DPR/MPR, mereka bisa menggulingkan Presiden Jokowi dan membubarkan pemerintahannya? [2] Bukankah mereka meminta kepada MPR itu sesuai UUD 1945? Jadi, terserah MPR mau menggelar SI atau tidak. Lagi pula, berkumpul di Gedung DPR/MPR juga belum terjadi. Belum ada tindakan/perbuatan mereka yang berada di luar hukum. Begitu pula, tidak ada tindakan mereka yang merusak.
Demikianlah sikap dan tindakan Polri yang berlebihan, yaitu menangkap dan menahan orang dengan tuduhan serius: makar. Padahal tidak seorang pun yang memiliki senjata api untuk melakukan pemberontakan. Tidak seorang pun yang berperan sebagai komandan pasukan bersenjata untuk menyerang Istana Negara. Mereka juga tidak dalam keadaan sedang menjalankan misi “gerilya kota” untuk melakukan kudeta terhadap Presiden Jokowi.
Mesti juga diingat, terlalu banyak contoh kasus di dunia bahwa aksi penggulingan pemerintah dilakukan dengan kekuatan bersenjata seperti kasus Turki dan Thailand. Sedangkan mantan Presiden Soeharto tumbang atas desakan gelombang demonstrasi sebelum dia meletakkan jabatannya pada 21 Mei 1998. Penggantinya, Habibie pun mencabut UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, serta delik makar tidak pernah lagi dikenakan pada orang yang melancarkan protes atau mempersiapkan protes.
Seharusnya Polri berkewajiban untuk menghormati kebebasan mereka berpendapat dan berkumpul yang dijamin dalam hukum HAM, karena kebebasan (freedom) bukanlah kejahatan (crimes). Polri tidak boleh mengubah kebebasan jadi makar, karena asumsi Polri kebebasan terkait protes terhadap pemerintah sama dengan kejahatan. Padahal delik makar ini dipungut dari pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk memberangus kebebasan orang di tanah jajahannya.
PBHI menyarankan supaya Polri membatalkan tuduhan dan membebaskan mereka dari tuduhan makar. Karena jika tetap diteruskan, Polri akan menerima tuduhan sebagai aparat penegak hukum yang mengembalikan rezim pemberangus kebebasan seperti di masa Orde Baru. Orde Baru biasa memberangus hak atas kebebasan dengan tuduhan makar atau subversif. Perilaku dan tindakan aparat Polri seperti ini jelas mengancam kebebasan politik, sebelum kemudian kriminalisasi orang yang mengekspresikan kebebasan.