kepolisian membuat rancangan revisi KUHAP ini harus dikembalikan dari Sekretariat Negara kepada Kemenkumham. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), menilai proses pengembalian rancangan revisi KUHAP dan perkembangan yang lambat (Februari 2010-Desember 2011), merupakan wujud kegagalan pemerintah Indonesia dalam menjamin perlindungan dan penghormatan terhadap hak tersangka dan terdakwa. Selain menunjukkan ketidakharmonisan antar institusi negara. Keadilan yang ditunda adalah bentuk dari pengingkaran atas keadilan itu sendiri (Justice Delayed, Justice Denied).
Dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh PBHI, gagasan hakim komisaris dalam rancangan revisi KUHAP menjadi salah satu keberatan institusi Kepolisian. Ide hakim komisaris didasarkan pada lemahnya kontrol atas wewenang polisi dalam penangkapan, penahanan dan penyidikan yang cenderung eksklusif, rendah pengawasan. Sehingga beberapa prinsip perlindungan terhadap hak tersangka dan terdakwa diantaranya; Presumption of Innocence, Equality of Arms, freedom from ill treatment, freedom from torture, dan non diskriminasi, berpotensi dilanggar. PBHI menilai, gagasan mekanisme control melalui hakim komisaris, akan mempermudah institusi kepolisian untuk meningkatkan profesionalisme dan akuntabiltas dalam melakukan penegakan hukum dengan tetap menjunjung tinggi hak-hak manusia.
PBHI percaya kekhawatiran berbagai pihak tentang sarana dan prasarana yang diperlukan bagi adanya hakim komisaris, dengan mempertimbangkan kondisi geografis di Indonesia, merupakan tantangan yang harus dihadapi dengan mengingat kemajuan teknologi dan transportasi, serta semangat yang tinggi dalam memajukan hak-hak manusia yang saat ini tidak hanya sebatas ratifikasi namun tercantum dalam konstitusi yang harus menjadi landasan dalam melaksanakan kewajiban negara dalam memberikan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak manusia.
Sistem peradilan yang saat ini, dengan memberikan kewenangan yang besar kepada beberapa pihak khususnya untuk melakukan penangkapan dan penahanan tanpa adanya kejelasan kontrol terhadap penggunaan kekuasaan tersebut hanya mengakibatkan tercemarnya tujuan peradilan pidana itu sendiri dan makin menurunnya tingkat kepercayaan terhadap proses penegakan hukum serta aparatur penegak hukum.
Berdasarkan kondisi diatas Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), dengan ini meminta kepada :
Presiden RI beserta jajaranya untuk melaksanakan, komitmen yang dibangun dalam pemajuan hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana;
Presiden RI, selaku kepala negara dan kepala pemerintahan untuk melakukan harmonisasi jajaran dibawahnya, terkait polemik sistem pengawasan penggunaan kekuasaan dalam hukum acara pidana;
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, untuk tidak melalaikan tugasnya dengan tidak segera menyerahkan rancangan hukum acara pidana beserta naskah akademik yang telah selesai disusun kepada Presiden RI;
Penegak hukum untuk meningkatkan profesionalisme dan akutanbilitas dalam menjalankan tugas-tugasnya, sehingga tidak beranggapan adanya sistem pengawasan melalui hakim komisaris berpotensi menghambat kerja-kerja penegakan hukum;
DPR RI, untuk menagih rancangan hukum acara pidana, mengingat rancangan pembaharuan hukum acara pidana sudah dimasukan oleh Pemerintah dalam program legislative nasional 2010 – 2014 . dimana setiap tahun menjadi prioritas untuk segera dibahas.
Jakarta, 15 Desember 2011
Badan Pengurus Nasional
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia – PBHI
Angger Jati Wijaya
Ketua
0816 680 845